BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Generalisasi
sejarah merupakan salah satu ilmu yang di pelajari untuk memahami ilmu dasar
sejarah karena dengan demikian kita mampu memahami suatu kesimpulan dari yang
khusus menjadi yang umum. Sejarah itu penting utuk dipelajari dari akar
masalahnya. Adapun fungsi sejarah secara saintifikasi dan implikasi. Generalisasi
sejarah sering dipakai untuk mengecek teori yang lebih jelas. Teori di tingkat
makro sering kali berbeda dengan generalisasi sejarah di tingkat mikro. Maka
dari itu generalisasi sejarah memudahkan kita untuk memahami apa yang di maksud
dengan suatu kesimpulan dalam sebuah pengelompokan.
B.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengetian Generalisasi Sejarah?
B.
Apa saja Macam-Macam Generalisasi Sejarah?
C.
TUJUAN
A.
Mampu memahami Generalisasi Sejarah
B.
Mengetahui macam-macam Generalisasi Sejarah
BAB II
PEMBAHASAN
GENERALISASI
SEJARAH
Generalisasi (dari bahasa latin generalis, yang berarti”umum”)adalah
pekerjaan penyimpulan dari yang khusus kepada yang umum. Generalisasi yang
tersedia dapat menjadi dasar penelitian bila sifatnya sederhana, sudah
dibuktikan oleh peneliti sebelumnya, dan merupakan accepted history. Generalisasi dapat dipakai sebagai hipotesis
deskriptif, yaitu sebagai dugaan sementara. Generalisasi sejarah yang
sebenarnya adalah hasil penelitian. Kata “revolusi” yang merupakan penyimpulan dari
data yang ada memang dapat menjadi dasar penelitian, sementara“ revolusi
pemuda” adalah kesimpulan yang didapatkan sebagai hasil penelitian . jadi,
semua penelitian tidak boleh hanya di dasarkan pada asumsi umum. Generalisasi
atau simpulan (kesimpulan umum) memang sangat perlu dalam sejarah, sebab
sejarah adalah ilmu. Generalisasi sejarah dapat berarti spesifikasi, atau
bahkan antigeneralisasi bagi ilmu lain. Generalisasi bertujuan dua hal:
Saintifikasi dan simplifikasi. Orang yang tak melakukan generalisasi tidak akan
bisa membedakan “pohon” dengan “hutan. Juga ia tidak akan bisa membedakan
“hutan” dengan “taman”. Sebab keduanya, mempunyai unsur yang sama seperti
danau, sungai, pohon, dan gundukan tanah.
SAINTIFIKASI
Generalisasi sejarah sering dipakai untuk mengecek teori yang lebih
jelas. Teori di tingkat makro sering kali berbeda dengan generalisasi sejarah
di tingkat mikro. Misalnya, bagi Marxisme, semua revolusi adalah perjuangan
kelas. Mula-mula tesis ini dipakai untuk menganalisis Revolusi Perancis,
kemudian dipakai juga untuk semua revolusi, termasuk yang terjadi di Amerika
latin.
SIMPLIKASI
Simplikasi diperlukan supaya
sejarawan dapat melakukan analisis. Demikianlah, Madura dapat disederhanakan
sebagai daerah dengan ekologi tegal yang selalu mengalami kelangkan sumber.
Penyederhanaan yang ditentukan lewat pembacaan itu akan menunutut sejarawan
dalam mencari data , melakukan kritik sumber, interpretasi, dan penulisan.
MACAM-MACAM
GENERALISASI
GENERALISASI
KONSEPTUAL
Disebut generalisasi konseptual karena didalamnya berupa konsep
yang menggambarkan fakta. Konsep-konsep tersebut tidak harus diambil dari ilmu
lain , sejarah juga punya hak untuk membuat konsep. Konsep “renaisans”,
misalnya , adalah konsep yang dibuat oleh sejarawan untuk memberi simbol kepada
zaman kebangkitan kembali nilai-nilai kemanusiaan. Sejarawan dapat memberi nama
suatu bentuk negara dengan”monarki absolut”,”monarki konstitusional”,dsb.
GENERALISASI
PERSONAL
Dalam logika, ada cara berfikir yang menyamakan bagian dengan
keseluruhan. Generalisasi personal juga berfikir seperti itu. Misalnya, kita berfikir
seolah-olah Pan-Islamisme adalah Jamaluddin Al-Afghani, pembaharu islam di
mesir dengan Muhammad Abduh, kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno-Hatta, dan
Orde Baru dengan Presoden Soeharto. Tentu saja itu tidak terlalu salah, hanya
saja hal itu berarti kita meniadakan peran orang-orang lain.
GENERALISASI
TEMATIK
Biasanya judul buku sama dengan topik buku. Sejarah Amerika
pada abad pertama ditandai dengan budaya puritan. Masa kanak-kanak dimulai
dengan santai, kemudian menjelang dewasa diterapkan disiplin yang keras oleh
orangtua. Untuk keperluan itu, John Demos menulis sejarah keluarga dari data
kuantitatif dan literer, A little
Commenwealth: Family life in Playmouth Colony. Yang menjadidasar dari agama
sipil di Amerika Serikat adalah rasa malu dan rasa bersalah orang-orang
puritan.
GENERALISASI
SPATIAL
Kita sering membuat generalisasi tentang tempat. Pikiran
sehari-hari membuktikan hal itu. Orang luar kota selalu membayangkan orang
bahwa setiap hari orang Yogya makan”Gudeg” nama makanan yang diberikan untuk
sayur nangka yang manis yang serba manis. Juga dengan Korea, Jepang, dan China
kita mnyebutkanya dengan Timur jauh atau Asia Timur, untuk sebagian besar
negara-negara Arab, Turki, dan Iran kita menyebutnya Asia Barat dan Asia
Selatan untuk India, Pakistan dan Bangladesh, serta Asia Tenggara untuk negara-negara
ASEAN.
GENERALISASI
PERIODIK
Apabila membuat periodesasi, kita pasti membuat kesimpulan umum
menganai sebuah periode. Zaman pertengahan di Eropa disebut orang the Age of
Believe karena pada zaman itu orang cenderung menggunakan kitab suci ketimbang
menggunakan pikiran. Penyebutan sebuah periode tentu saja tergantung pada sudut
pandang orang dan tergantung dari jenis sejarah yang ditulis.
Orang barat menyebut zaman sesudah
Zaman Pertengahan sebagai Zaman Modern. Sejarawan indonesia menyebut sesudah
zaman islam sebagai zaman kolonial, dll.
GENERALISASI
SOSIAL
Bila kita melukiskan suatu kelompok sosial dalam pikiran kita, maka
sudah timbul generalisasi. Kata petani barangkali mmpunyai konotai yang
bermacam-macam, sesuai denga tempat dan waktu yang di bicarakan. Dalam bahasa
Ianggris, ada perbedaan antara Peasan dsn Farmer. Petani di Eropa dulu dan di
Tiongkok lama lebih sesuai di sebut Peasan karena terikat dengan tanah dan
bertani lebih ebagai jalan hidup ketimbang sebagai usaha. Baikdi Eropa dan Tiongkok
ada Teodalisme. Akan tetapi, bagi para petani di Indonesia, meskipuntidak ada
teodalisme, tetapi ad patrimonialisme, petani juga lebih tepat disebut Peasan.
Karna itu, Peasan biasa diterjemahkan dengan petani, sedangkan Farmer dapat di
terjemahkan dengan pengusaha tani.
Kalau kita berbicara tentang petani di Indonesia pada abad ke 19,
yaitu di dua kerajaan jaw, Surakarta, dan Yogyakarta, petani merupakan bagian
dari masyarakat secara keseluruhan dan bagian dari budaya secar kseluruhan. Petani
tidak daptt di bedakan tanpa msyarakat bangsawan dan budaya Kraton yang di
dukungnya.
Lain halnya kalau kita berbicara tentang pengusaha tani di Amerika.
Sebelum perang saudara, kebanyakan pengusaha tani di Amerika bagian Selatan
adalah Tuan Tanah. Merekalah yang mendukung perbudakan orang-orang kulit hitam.
Jadi, gambaran umum kita mengenai petani tetap merupakan sebuah
generalisasi yang harus di spesifikasikan. Demikian pula dengan generalisasi
kita tentang Elit kekuasaan yang berada di atas petani, juga generalisasi
tentang kelompok sosial lain, seperti buruh, ulama, orang sekuler, orang islam.
Generalisasi itu kita perlukan asal diikuti dengan spesifikasi.sejarah adalah ilmu
yang sekaligus melakukan generalisasi dan spesifikasi. Diharapkan tulisan
sejarawan akan berimbang.
GENERALISASI
KAUSAL
Bila kita membuat generalisasi tentang sebab musabat kesinambungan,
perkembangan, pengulangan, dan perubahan sejarah, maka itu disebut generalisasi
kausal. Pada tingkat individual, kita sering membut kesimpulan umum tentang
sebab-sebab orang berubah. Banyak faktor yang sering kita tunjuk, seperti
msalah moral, ekonomi, pangkat, dsb. Tidak lepas dari generalisasi kausal
adalah keluarga, desa, satuan diatas desa, negara, masyarakat, budaya dan
sejarah.
Bila orang memastikan hanya satu saja yang menyebabkan, itu di
sebut Determinisne. Determinisme yang selalu bersifat filosofis itu ada 2,
yaitu Idealisme dan Materialisme. Pada Idealisme, yang menggerakan sejarah
ialah ide, sedangkan Materialisme menganggap bahwa Materi menggerakan sejarah.
Idealisme diwakili oleh Hegelianisme, dan Materialisme oleh Marxisme. Yang
terakhir itu, serig disebut dengan Materialisme Historis atau Determinisme
Ekonomis. Determinisme itu berlaku secara a Priori, sebelum mengetahui (dari
bahasa latin prior, yang berarti” yang pertama”).Persoalan bagi segala macam
Determinisme ialah, apakah gerakan-gerakan dalam sejarah itu bersifat
Mekanistis, jadi bergerak dengan sendirinya seperti mesin, ataukan ada campur
tangan manusia.
Generalisasi sejara selalu bersifat a posteriori, sesudah
pengamatan (dari bahasa latin posteriori, yang berarti “ kelanjutan”. Sejarawan
Inggris Edwar Gibbon (1737-1794) , melohat bahwa maju dan mundurnya sebuah
imperium adalah dari ada dan tidaknya cita-cita kemajuan.
Ada ‘teori” bahwa pindahnya pusat kerajaan dari jawa tengah ke jawa
Timur karena letusan Gunung berapi yang menyebabkan daerah-daerah di Jawa
Tengah tidak layak huni ( sebab Geografis), atau karena penduduk di Jawa Tengah
terlalu padat sehinga sumber alam tidak bisa mendukung (sebab kependudukan),
atau karena ditemukanya bata yang lbih ringan di daerah yang baru ( sebab
teknologis) demikian juga hal nya dengan perpindahan pusat kerajaan Jawa dati
Pantai Utara k ddaerah pedalaman di Selatan.
T Ibrahim Alfian dalam perang dijala Allah mngemukakan bahwa perang
Aceh bisa bertahan begitu lama ialah karena ideologi jihad. Masyarakat Banten
dan Madura adalah sama-sama memeluk Islam yang fanatic, tetapi di Banten terus
meerus ada pemberontakan, sedangkan di Madura jarang ada pemberontakan. Ternyata
sebab nya adalah surplus sosial. Di Banten, orang punya modal untuk mmberontak,
di Madura tidak.
Yang terlupakan oleh determenisme ialah faktor manusia. Biarlah
amnusia dan sejarah tetap terbuka. Kadang-kadnag dari dunia”merdeka” sendiri
timbul ancaman terhadap keterbukaan itu.
GENERALISASI
KULTURAL
Para pelkau sejarah sendiri kadang-kadnag melakukan generalisasi
kultural. Tidak ada anak-anak ulama yang masuk sekolah umum, sebelum
kemerdekaan. Dan sebaliknya, Belanda pernah menyamakan haji dengan rentenir
dalam laporan Mindere Will Faar Chongmmissie, jumlah haji di Madura sama persis
dengan jumlah rentenir .
Demikian pula, apa yang dikerjakan ulama dari Pekalongan, kyai
Rifai yang dibuang ke Ambon pada 1859 ialah generalisasi kultural. Yang
menyusun kitab-kitabnya dengan syair bahasa pesisir. Kita dapat menduga hal itu
dikerjakan juga sebagai simbol perlawanan terhadap Patrimonialisme karena di
Kejawen ajaran Islam selalu ditulis dalam tembang-tembang, dan perlawanan
terhadap kolonialisme dinyatakan dalam bentuk yang konkret, berupa [enolakan
terhadap penghulu yang diangkat oleh pemerintah.
GENERALISASI
SISTEMATIK
Kita sering membuat kesimpulan umum tentang adanya suatu sistem
dalam sejarah. Dalam sejarah ekonomi, hubungan Amerika, Afrika, dan Eropa
sebelum Perang Saudara dapat digambarkan sebagai sebuah sistem. Afrika mengirim
tenaga ke Amerika, Amerika mengirim bahan mentah ke Eropa, dan Eropa mengirim
barang jadi ke Afrika. Kit juga melihat Jalan Sutera dari Tiongkok ke Eropa
pada zaman kuno, yang satu melalui darat lewat Asia Tengan dan yang lain lewat
laut melalui Indonesia. Orang Jawa juga mengekspor beras ke Indonesia Timur.
Kita juga tahu perdagangan lada dari Indonesia sampai ke Eropa.
Jalur perjalanan yang sifatnya lokal juga dapat kita
rekontruksikan. Kita tahu dari Babad Tembayat, bahwa ada Jalan dari Semarang ke
Klaten yang melewati Salatiga. Kita juga tahu dari sumber-sumber VOC, ada jalan
dari Semarang ke Yogyakarta melalui Magelang. Dari tembang macapat, kita tahu
ada jalan sungai lewat Bengawan Solo yang dilalui oleh Jaka Tingkir. Jalan yang
sama, dari Solo sampai Bojonegoro, juga dilalui para pedagang. Hal itu kita
ketahui ;lewat koran dan nyanyian, serta masih bis dilacak lewat sejarah lisan.
Pola migrasi ke kota juga bisa dilacak lewat sejarah lisan. Di kota seperti
Yogyakarta, kaum migran dari selatan sellau tinggal di sebelah selatan kota.
GENERALISASI
STRUKTURAL
Kita sering heran, mengapa orang asing lebih peka daripada kita
sendiri, mengenai orang Indonesia. Sering ketika kita sedang berjalan di negeri
orang yang tidak terdapat orang Indonesia, tiba-tiba kita ditegur dalam bahasa
Indonesia oleh orang kulit putih atau ketika kita sedang berjalan-jalan dengan
orang kulit putih, tiba-tiba orang itu menunjuk beberapa rombongan orang
berkulit sawo matang dan menegur salah satu rombongan dengan bahasa Indonesia.
Ternyata, orang-orang asing telah mempelajari dengan cermat struktur tubuh,
cara berjalan, gerak-gerik tubuh, cara bicara, dan cara diam kita. Dengan kata
lain orang asing itu telah mempelajari susunan kita, struktur kita, mereka teah
membiat generalisasi strutur tentang orang Indonesia.
Sebenarnya kita juga punya kebiasaan yang sama, kita aka heran
sendiri, bagaimana kita tahu kawan kita dari Sumatera atau Kalimantan meskipun
sama-sama berkulit kuning, bukan berasal dari NTT tetapi dari Irian Jaya
meskipun sama-sama kriting. Orang Kristen bukan Protestan meskipun sama-sama
alim. Orang NU bukan orang Muhamadiyah meskipun sama-sama ke mesjid. Orang
Amerika dan bukan orang Beland meskipun sama-sama berkulit putih. Orang Jepang
dan bukan orang Cina meskipun sama-sama bermata sipit dan berambut lurus.
Semua
itu karena struktur of efents, susunan peristiwa, sudah diketahui. Misalnya
mengenai Amerika. Politik luar negeri Amerika ternyata diatur oleh nasional
interest, kepentingan nasional. Definisi kepentingan nasional itu tampaknya
berubah-ubah. Suatu kali idealisme, seperti hab kadang-kadang realisme, seperti
minyak. Ketika Indonesia bertikai dengan Belanda 1945-1950, pada mulnya minyak
(realisme) yang menjadi perhatiam Amerika dan bukan hak menentukan nasib
sendiri. Karena itu Amerika tampak konserfative. Politik ini berubah menjadi
Idelisme (containment, membendung komunisme) setelah terbukti Indonesia
menumpas komunisme pada 1948. Sebagai pragmatis, Amerika lebih banyak di
dominasi oleh realisme.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pada Generalisasi Sejarah banyak sekali bahan yang bisa untuk di
Generalisasikan, Generalisasi dapat dipakai sebagai hipotesis deskriptif, yaitu
sebagai dugaan sementara. Generalisasi sejarah yang sebenarnya adalah hasil
penelitian. Para sejarawan jangan sampai ragu-ragu untuk membuat membuat
Generalisasi sendiri. Setelah meneliti, ia berkesimpulan bahwa mereka cenderung
untuk di pengaruhi suatu iklim pendapat yang menguasai Generalisasinya
masing-masing, maka ia akan merasa terlalu membuta kepada unsur-unsurnya yang
khas, jika ia tidak menyimpulkan bahwa pengarang pada umumnya cenderung untuk
dipengaruhi oleh iklim intelektual zamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowidjoyo.2013.Pengantar Imu Sejarah. Yogyakarta:Tiara
Wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar