Rabu, 21 Desember 2016

GENERALISASI SEJARAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Generalisasi sejarah merupakan salah satu ilmu yang di pelajari untuk memahami ilmu dasar sejarah karena dengan demikian kita mampu memahami suatu kesimpulan dari yang khusus menjadi yang umum. Sejarah itu penting utuk dipelajari dari akar masalahnya. Adapun fungsi sejarah secara saintifikasi dan implikasi. Generalisasi sejarah sering dipakai untuk mengecek teori yang lebih jelas. Teori di tingkat makro sering kali berbeda dengan generalisasi sejarah di tingkat mikro. Maka dari itu generalisasi sejarah memudahkan kita untuk memahami apa yang di maksud dengan suatu kesimpulan dalam sebuah pengelompokan.
B.  RUMUSAN MASALAH

A.    Apa pengetian Generalisasi Sejarah?
B.     Apa saja Macam-Macam Generalisasi Sejarah?

C.   TUJUAN

A.    Mampu memahami Generalisasi Sejarah
B.     Mengetahui macam-macam Generalisasi Sejarah




BAB II
PEMBAHASAN
GENERALISASI SEJARAH
            Generalisasi (dari bahasa latin generalis, yang berarti”umum”)adalah pekerjaan penyimpulan dari yang khusus kepada yang umum. Generalisasi yang tersedia dapat menjadi dasar penelitian bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya, dan merupakan accepted history. Generalisasi dapat dipakai sebagai hipotesis deskriptif, yaitu sebagai dugaan sementara. Generalisasi sejarah yang sebenarnya adalah hasil penelitian. Kata “revolusi” yang merupakan penyimpulan dari data yang ada memang dapat menjadi dasar penelitian, sementara“ revolusi pemuda” adalah kesimpulan yang didapatkan sebagai hasil penelitian . jadi, semua penelitian tidak boleh hanya di dasarkan pada asumsi umum. Generalisasi atau simpulan (kesimpulan umum) memang sangat perlu dalam sejarah, sebab sejarah adalah ilmu. Generalisasi sejarah dapat berarti spesifikasi, atau bahkan antigeneralisasi bagi ilmu lain. Generalisasi bertujuan dua hal: Saintifikasi dan simplifikasi. Orang yang tak melakukan generalisasi tidak akan bisa membedakan “pohon” dengan “hutan. Juga ia tidak akan bisa membedakan “hutan” dengan “taman”. Sebab keduanya, mempunyai unsur yang sama seperti danau, sungai, pohon, dan gundukan tanah.

SAINTIFIKASI
Generalisasi sejarah sering dipakai untuk mengecek teori yang lebih jelas. Teori di tingkat makro sering kali berbeda dengan generalisasi sejarah di tingkat mikro. Misalnya, bagi Marxisme, semua revolusi adalah perjuangan kelas. Mula-mula tesis ini dipakai untuk menganalisis Revolusi Perancis, kemudian dipakai juga untuk semua revolusi, termasuk yang terjadi di Amerika latin.
SIMPLIKASI
            Simplikasi diperlukan supaya sejarawan dapat melakukan analisis. Demikianlah, Madura dapat disederhanakan sebagai daerah dengan ekologi tegal yang selalu mengalami kelangkan sumber. Penyederhanaan yang ditentukan lewat pembacaan itu akan menunutut sejarawan dalam mencari data , melakukan kritik sumber, interpretasi, dan penulisan.

MACAM-MACAM GENERALISASI

GENERALISASI KONSEPTUAL
Disebut generalisasi konseptual karena didalamnya berupa konsep yang menggambarkan fakta. Konsep-konsep tersebut tidak harus diambil dari ilmu lain , sejarah juga punya hak untuk membuat konsep. Konsep “renaisans”, misalnya , adalah konsep yang dibuat oleh sejarawan untuk memberi simbol kepada zaman kebangkitan kembali nilai-nilai kemanusiaan. Sejarawan dapat memberi nama suatu bentuk negara dengan”monarki absolut”,”monarki konstitusional”,dsb.


GENERALISASI PERSONAL
Dalam logika, ada cara berfikir yang menyamakan bagian dengan keseluruhan. Generalisasi personal juga berfikir seperti itu. Misalnya, kita berfikir seolah-olah Pan-Islamisme adalah Jamaluddin Al-Afghani, pembaharu islam di mesir dengan Muhammad Abduh, kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno-Hatta, dan Orde Baru dengan Presoden Soeharto. Tentu saja itu tidak terlalu salah, hanya saja hal itu berarti kita meniadakan peran orang-orang lain.
GENERALISASI TEMATIK
            Biasanya judul  buku sama dengan topik buku. Sejarah Amerika pada abad pertama ditandai dengan budaya puritan. Masa kanak-kanak dimulai dengan santai, kemudian menjelang dewasa diterapkan disiplin yang keras oleh orangtua. Untuk keperluan itu, John Demos menulis sejarah keluarga dari data kuantitatif dan literer, A little Commenwealth: Family life in Playmouth Colony. Yang menjadidasar dari agama sipil di Amerika Serikat adalah rasa malu dan rasa bersalah orang-orang puritan.
GENERALISASI SPATIAL
Kita sering membuat generalisasi tentang tempat. Pikiran sehari-hari membuktikan hal itu. Orang luar kota selalu membayangkan orang bahwa setiap hari orang Yogya makan”Gudeg” nama makanan yang diberikan untuk sayur nangka yang manis yang serba manis. Juga dengan Korea, Jepang, dan China kita mnyebutkanya dengan Timur jauh atau Asia Timur, untuk sebagian besar negara-negara Arab, Turki, dan Iran kita menyebutnya Asia Barat dan Asia Selatan untuk India, Pakistan dan Bangladesh, serta Asia Tenggara untuk negara-negara ASEAN.
GENERALISASI PERIODIK
Apabila membuat periodesasi, kita pasti membuat kesimpulan umum menganai sebuah periode. Zaman pertengahan di Eropa disebut orang the Age of Believe karena pada zaman itu orang cenderung menggunakan kitab suci ketimbang menggunakan pikiran. Penyebutan sebuah periode tentu saja tergantung pada sudut pandang orang dan tergantung dari jenis sejarah yang ditulis.
            Orang barat menyebut zaman sesudah Zaman Pertengahan sebagai Zaman Modern. Sejarawan indonesia menyebut sesudah zaman islam sebagai zaman kolonial, dll.
GENERALISASI SOSIAL
Bila kita melukiskan suatu kelompok sosial dalam pikiran kita, maka sudah timbul generalisasi. Kata petani barangkali mmpunyai konotai yang bermacam-macam, sesuai denga tempat dan waktu yang di bicarakan. Dalam bahasa Ianggris, ada perbedaan antara Peasan dsn Farmer. Petani di Eropa dulu dan di Tiongkok lama lebih sesuai di sebut Peasan karena terikat dengan tanah dan bertani lebih ebagai jalan hidup ketimbang sebagai usaha. Baikdi Eropa dan Tiongkok ada Teodalisme. Akan tetapi, bagi para petani di Indonesia, meskipuntidak ada teodalisme, tetapi ad patrimonialisme, petani juga lebih tepat disebut Peasan. Karna itu, Peasan biasa diterjemahkan dengan petani, sedangkan Farmer dapat di terjemahkan dengan pengusaha tani.
Kalau kita berbicara tentang petani di Indonesia pada abad ke 19, yaitu di dua kerajaan jaw, Surakarta, dan Yogyakarta, petani merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan dan bagian dari budaya secar kseluruhan. Petani tidak daptt di bedakan tanpa msyarakat bangsawan dan budaya Kraton yang di dukungnya.
Lain halnya kalau kita berbicara tentang pengusaha tani di Amerika. Sebelum perang saudara, kebanyakan pengusaha tani di Amerika bagian Selatan adalah Tuan Tanah. Merekalah yang mendukung perbudakan orang-orang kulit hitam.
Jadi, gambaran umum kita mengenai petani tetap merupakan sebuah generalisasi yang harus di spesifikasikan. Demikian pula dengan generalisasi kita tentang Elit kekuasaan yang berada di atas petani, juga generalisasi tentang kelompok sosial lain, seperti buruh, ulama, orang sekuler, orang islam. Generalisasi itu kita perlukan asal diikuti dengan spesifikasi.sejarah adalah ilmu yang sekaligus melakukan generalisasi dan spesifikasi. Diharapkan tulisan sejarawan akan berimbang.
GENERALISASI KAUSAL
Bila kita membuat generalisasi tentang sebab musabat kesinambungan, perkembangan, pengulangan, dan perubahan sejarah, maka itu disebut generalisasi kausal. Pada tingkat individual, kita sering membut kesimpulan umum tentang sebab-sebab orang berubah. Banyak faktor yang sering kita tunjuk, seperti msalah moral, ekonomi, pangkat, dsb. Tidak lepas dari generalisasi kausal adalah keluarga, desa, satuan diatas desa, negara, masyarakat, budaya dan sejarah.
Bila orang memastikan hanya satu saja yang menyebabkan, itu di sebut Determinisne. Determinisme yang selalu bersifat filosofis itu ada 2, yaitu Idealisme dan Materialisme. Pada Idealisme, yang menggerakan sejarah ialah ide, sedangkan Materialisme menganggap bahwa Materi menggerakan sejarah. Idealisme diwakili oleh Hegelianisme, dan Materialisme oleh Marxisme. Yang terakhir itu, serig disebut dengan Materialisme Historis atau Determinisme Ekonomis. Determinisme itu berlaku secara a Priori, sebelum mengetahui (dari bahasa latin prior, yang berarti” yang pertama”).Persoalan bagi segala macam Determinisme ialah, apakah gerakan-gerakan dalam sejarah itu bersifat Mekanistis, jadi bergerak dengan sendirinya seperti mesin, ataukan ada campur tangan manusia.
Generalisasi sejara selalu bersifat a posteriori, sesudah pengamatan (dari bahasa latin posteriori, yang berarti “ kelanjutan”. Sejarawan Inggris Edwar Gibbon (1737-1794) , melohat bahwa maju dan mundurnya sebuah imperium adalah dari ada dan tidaknya cita-cita kemajuan.
Ada ‘teori” bahwa pindahnya pusat kerajaan dari jawa tengah ke jawa Timur karena letusan Gunung berapi yang menyebabkan daerah-daerah di Jawa Tengah tidak layak huni ( sebab Geografis), atau karena penduduk di Jawa Tengah terlalu padat sehinga sumber alam tidak bisa mendukung (sebab kependudukan), atau karena ditemukanya bata yang lbih ringan di daerah yang baru ( sebab teknologis) demikian juga hal nya dengan perpindahan pusat kerajaan Jawa dati Pantai Utara k ddaerah pedalaman di Selatan.
T Ibrahim Alfian dalam perang dijala Allah mngemukakan bahwa perang Aceh bisa bertahan begitu lama ialah karena ideologi jihad. Masyarakat Banten dan Madura adalah sama-sama memeluk Islam yang fanatic, tetapi di Banten terus meerus ada pemberontakan, sedangkan di Madura jarang ada pemberontakan. Ternyata sebab nya adalah surplus sosial. Di Banten, orang punya modal untuk mmberontak, di Madura tidak.
Yang terlupakan oleh determenisme ialah faktor manusia. Biarlah amnusia dan sejarah tetap terbuka. Kadang-kadnag dari dunia”merdeka” sendiri timbul ancaman terhadap keterbukaan itu.
GENERALISASI KULTURAL
Para pelkau sejarah sendiri kadang-kadnag melakukan generalisasi kultural. Tidak ada anak-anak ulama yang masuk sekolah umum, sebelum kemerdekaan. Dan sebaliknya, Belanda pernah menyamakan haji dengan rentenir dalam laporan Mindere Will Faar Chongmmissie, jumlah haji di Madura sama persis dengan jumlah rentenir .
Demikian pula, apa yang dikerjakan ulama dari Pekalongan, kyai Rifai yang dibuang ke Ambon pada 1859 ialah generalisasi kultural. Yang menyusun kitab-kitabnya dengan syair bahasa pesisir. Kita dapat menduga hal itu dikerjakan juga sebagai simbol perlawanan terhadap Patrimonialisme karena di Kejawen ajaran Islam selalu ditulis dalam tembang-tembang, dan perlawanan terhadap kolonialisme dinyatakan dalam bentuk yang konkret, berupa [enolakan terhadap penghulu yang diangkat oleh pemerintah.
GENERALISASI SISTEMATIK
Kita sering membuat kesimpulan umum tentang adanya suatu sistem dalam sejarah. Dalam sejarah ekonomi, hubungan Amerika, Afrika, dan Eropa sebelum Perang Saudara dapat digambarkan sebagai sebuah sistem. Afrika mengirim tenaga ke Amerika, Amerika mengirim bahan mentah ke Eropa, dan Eropa mengirim barang jadi ke Afrika. Kit juga melihat Jalan Sutera dari Tiongkok ke Eropa pada zaman kuno, yang satu melalui darat lewat Asia Tengan dan yang lain lewat laut melalui Indonesia. Orang Jawa juga mengekspor beras ke Indonesia Timur. Kita juga tahu perdagangan lada dari Indonesia sampai ke Eropa.
Jalur perjalanan yang sifatnya lokal juga dapat kita rekontruksikan. Kita tahu dari Babad Tembayat, bahwa ada Jalan dari Semarang ke Klaten yang melewati Salatiga. Kita juga tahu dari sumber-sumber VOC, ada jalan dari Semarang ke Yogyakarta melalui Magelang. Dari tembang macapat, kita tahu ada jalan sungai lewat Bengawan Solo yang dilalui oleh Jaka Tingkir. Jalan yang sama, dari Solo sampai Bojonegoro, juga dilalui para pedagang. Hal itu kita ketahui ;lewat koran dan nyanyian, serta masih bis dilacak lewat sejarah lisan. Pola migrasi ke kota juga bisa dilacak lewat sejarah lisan. Di kota seperti Yogyakarta, kaum migran dari selatan sellau tinggal di sebelah selatan kota.
GENERALISASI STRUKTURAL
Kita sering heran, mengapa orang asing lebih peka daripada kita sendiri, mengenai orang Indonesia. Sering ketika kita sedang berjalan di negeri orang yang tidak terdapat orang Indonesia, tiba-tiba kita ditegur dalam bahasa Indonesia oleh orang kulit putih atau ketika kita sedang berjalan-jalan dengan orang kulit putih, tiba-tiba orang itu menunjuk beberapa rombongan orang berkulit sawo matang dan menegur salah satu rombongan dengan bahasa Indonesia. Ternyata, orang-orang asing telah mempelajari dengan cermat struktur tubuh, cara berjalan, gerak-gerik tubuh, cara bicara, dan cara diam kita. Dengan kata lain orang asing itu telah mempelajari susunan kita, struktur kita, mereka teah membiat generalisasi strutur tentang orang Indonesia.
Sebenarnya kita juga punya kebiasaan yang sama, kita aka heran sendiri, bagaimana kita tahu kawan kita dari Sumatera atau Kalimantan meskipun sama-sama berkulit kuning, bukan berasal dari NTT tetapi dari Irian Jaya meskipun sama-sama kriting. Orang Kristen bukan Protestan meskipun sama-sama alim. Orang NU bukan orang Muhamadiyah meskipun sama-sama ke mesjid. Orang Amerika dan bukan orang Beland meskipun sama-sama berkulit putih. Orang Jepang dan bukan orang Cina meskipun sama-sama bermata sipit dan berambut lurus.
Semua itu karena struktur of efents, susunan peristiwa, sudah diketahui. Misalnya mengenai Amerika. Politik luar negeri Amerika ternyata diatur oleh nasional interest, kepentingan nasional. Definisi kepentingan nasional itu tampaknya berubah-ubah. Suatu kali idealisme, seperti hab kadang-kadang realisme, seperti minyak. Ketika Indonesia bertikai dengan Belanda 1945-1950, pada mulnya minyak (realisme) yang menjadi perhatiam Amerika dan bukan hak menentukan nasib sendiri. Karena itu Amerika tampak konserfative. Politik ini berubah menjadi Idelisme (containment, membendung komunisme) setelah terbukti Indonesia menumpas komunisme pada 1948. Sebagai pragmatis, Amerika lebih banyak di dominasi oleh realisme.


 BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
           
Pada Generalisasi Sejarah banyak sekali bahan yang bisa untuk di Generalisasikan, Generalisasi dapat dipakai sebagai hipotesis deskriptif, yaitu sebagai dugaan sementara. Generalisasi sejarah yang sebenarnya adalah hasil penelitian. Para sejarawan jangan sampai ragu-ragu untuk membuat membuat Generalisasi sendiri. Setelah meneliti, ia berkesimpulan bahwa mereka cenderung untuk di pengaruhi suatu iklim pendapat yang menguasai Generalisasinya masing-masing, maka ia akan merasa terlalu membuta kepada unsur-unsurnya yang khas, jika ia tidak menyimpulkan bahwa pengarang pada umumnya cenderung untuk dipengaruhi oleh iklim intelektual zamanya.



 

DAFTAR PUSTAKA

Kuntowidjoyo.2013.Pengantar Imu Sejarah. Yogyakarta:Tiara Wacana.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar