6. ‘Urf
A. Pengertian ‘Urf
Secara etimologi, ‘urf berarti “yang
baik”. Para ulama
ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat
didefinisikan dengan:147
Sesuatu yang
dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Definisi ini menunjukkan bahwa apabila
suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak
dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan
yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan
seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau
permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan
hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab
alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau
cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi
kelambatan seseorang menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah.
Di samping itu, adat juga
bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana
juga adat bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu
daerah disebabkan pengaruh budaya asing.
Adapun ‘urf menurut ulama ushul fiqh
adalah:148
Kebiasaan
mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad
al-Zarqa’ (guru besar fiqh Islam di Universitas ‘Amman, Jordania), mengaakan
bahwa ‘urf merupakan bagian dari
adat, karena adat lebih umum dari ‘urf.
Suatu ‘urf, menurutnya harus berlaku
pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada
147
Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al-‘Urf wa
al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’, Mesir: Dar al-Fikr, al-‘Arabi, t.t., hal. 8
148
Ibid.,
lihat juga Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal
‘ala al-Fiqhi al-‘Am, Beriut: Dar al-Fikr, Jilid II, 1968, hal.840, dan
‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, Nazhariyyah
al-‘Urf, ‘Amman: Maktabah al-Aqsha, hal. 24
Pribadi
atau kelompok tertentu dan ‘urf
bukanlah kebiasaan alami sebagaimaa yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi
muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas
masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan
rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari mas kawin yang diberikan
suami dan penetapanukuran tertentu dalam penjualan makanan.
Yang dibahas para ulama ushul fiqh, dalam
kaitannya denga salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ adalah ‘urf, bukan adat.
B.
Macam-macam ‘Urf
Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf kepada tiga macam:149
1. Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada: al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yag menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-‘amali (kebiasaan yang
berbentuk perbuatan).
a. Al-‘urf
al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ ungkapan
tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang
dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging”
yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging
yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging
itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging
satu kilogram,” pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena
kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada
daging sapi.
Apabila dalam memahami ungkapan itu
diperlukan indikator lain, maka tidak dinamakan ‘urf. Misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah dan di
tangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan
bunuh dengan tongkat ini.” Dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud
dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti
ini, menurut ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath (guru besar Fiqh di Universitas Amman,
Yordania), tidak dinamakan ‘urf,
tetapi termasuk dalam majaz
(matafora).150
149
Ahmad Fahmi Abu Sunnah, op. cit., hal.
16 dan Ahmad Mushthafa al-Zarqa’, op.
cit., hal. 844 dan seterusnya
150
‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, op. cit., hal.
35
b. Al-‘urf
al-‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan
masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu
minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum
minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam
acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah
perdata adalah kebiasaan mayarakat dalam melakukan akad/ transaksi denagn cara
tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang
yang dibeli itu diantarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang
yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga
lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat
dalam berjual beli denagn cara mengambil barang dan membayar uang, tanpa adanya
akad secara jelas, seperti yang berlaku dipasar-pasar swalayan. Jual beli
seperti ini dalam fiqh Islam disebut dengan bay’u
al-mu’athah.
2. Dari segi cakupannya’ ‘urf terbagi dua, yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan
yang bersitaf khusus).
a. Al-‘urf
al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh
masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat
yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban
serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan .Contoh
lain adala kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap
penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.
b. Al-‘urf
al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
Misalnya, di kalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada
barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu,
konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan
mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah
kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum
yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya. ‘Urf al-khash seperti ini, menurut
Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang
sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat.151
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan
syara’ ‘urf terbagi dua; yaitu al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang
dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid
(kebiasaan yang dianggap rusak).
a. Al-‘urf
al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash
(ayat-ayat hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula
membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas
kawin.
b. Al-‘urf
al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di
kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti pemninjaman uang antara
sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo
satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih
peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntunagn
yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang
10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat
tolong-menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis,
menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad
Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di
zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan
riba’ al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang-piutang).152 Oleh
sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut ulama ushul fiqh, termasuk dalam
kategori al-‘urf al-fasid.
Contoh lain adalah dalam “penyuapan”.
Untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim,
atau utuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah
uang kepada orang yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-‘urf al-fasid.
151
Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, op. cit., hal.
848-849, dan ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, op.
cit., hal. 32
152 Ibid., hal. 37-38
C. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan
syara’, baik yang menyangkut ‘urf
al-lafzhi dan ‘urf al-‘alami, dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu
hukum, menurut Imam al-Qarafi (w. 684 H/ 1285 M./ ahli fiqh Maliki),153
harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau
menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh ulama
mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H./ ahli ushul fiqh Maliki),154
dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M./ ahli ushul fiqh
Hanbali),155 menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash
yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorrang
yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia
dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai
dengan ketentuan umum syari’at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus
jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas ditengah-tengah
masyarakat, sehingga seluruh ulama mazhab menganggap sah akad ini. Alasan
mereka adalah ‘urf al-‘amali yang
berlaku.
Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa
ketika ayat-ayata al-Qur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang
mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Misalnya,
kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw.
juga banyak sekali yag mengakui eksistensi ‘urf
yang berlaku ditengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan dengan jual
beli pesanan (salam). Dalam sebuah
riwayat dari Ibn ‘Abbas dikatakan bahwa ketika Raulullah saw. hijrak ke
Madinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan jual beli salam tersebut. Lalu Rasulullah saw.
bersabda:
153
Syihabuddin
Ahmad ibn Idris al-Qarafi, Anwar al-Baruq
fi Anwa’ al-Furuq, Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1344 H,
Jilid III, hal. 49
154
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat...,
op. cit., Jilid II, 179-188
155
Ibn Qayyim al-Jauziyah, A’lam
al-Muwaqqi’in..., op. cit., Jilid II, hal. 293 dan Jilid III, hal. 3 dan
seterusnya
Siapa
yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hedaklah ditentukan jumlahnya,
takarannya, dan tenggang waktunya (H.R. al-Bukhari).
Dari berbagai kasus ‘urf yang dijumpai, para ulama ushul
fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, diantaranya adalah yang paling mendasar:
1.
Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2.
Tidak diingkari perubahan hukum
disebabkan perubahan zaman dan tempat.
3. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana
yang disyaratkan itu menjadi syarat.
4. Yang ditetapkan melelui ‘uruf sama dengan
yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadits).
Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa
hukum-hukum yang didasarkan kepada suatu ‘urf
bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan
tempat tertentu.156
D. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
suatu ‘urf, baru dapat dijadikan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:157
1.
‘Urf itu (baik yang bersifat khusus
dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum.
Artinya, ‘urf itu berlaku dalam
156 Ibid.,
lihat juga Jalaludin ‘Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, op. cit, hal. 80 dan 88
157
Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, op. cit, hal.
873, dan ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, op.
cit., hal. 52-57
mayoritas
kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh
mayoritas masyarakat tersebut.
2.
‘Urf itu telah memasyarakat ketika
persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Akhirnya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum
itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan
dengan ini terdapat kaidah ushuliyyah yang mengatakan:
‘Urf
yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang
telah lama.158
3.
‘Urf itu tidak bertentangan dengan
yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu
transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang
harus dilakukan, seperti dalam membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan
penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli ke
rumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan
bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang ke rumah pembeli, tetapi
karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa
barang tersebut sendiri ke rumahnya, maka ‘urf
itu tidak berlaku lagi.159
4.
‘Urf itu tidak bertentangan denagn nash, sehingga menyebabkan hukum yang
dikandung nash itu tidak bisa
diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak
dapaat dijadikan dalil syara’, karena kehujjahan ‘urf bisa diterima apabila
tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi.
E. Pertentangan ‘Urf Dengan Dalil Syara’
‘urf
yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat
dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam
persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh memerincinya
sebagai berikut:160
158
Zainal ‘Abidin ibn Ibrahim ibn Nujaim, al-Asybah
wa al-Nazha’ir ‘ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu’man, Mesir: Mu’assasah
al-Halabi wa Syurakah, 1968, hal. 133
159
‘Izzuddin ibn ‘Abdul Salam, Qawa’id
al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beriut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid II,
hal. 178
160
Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa...,
op. cit., Jilid II, hal. 35-36 dan ‘Abdul ‘Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar, op. cit, Jilid II, hal.
2
1.
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/ rinci.
Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus
menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandnung nash, maka ‘urf tidak
dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman Jahiliyah dalam mengadopsi anak,
dimana anak yang diadopsi itu statusnya saman dengan anak kandung., sehingga
mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dantidak dapat diterima.
2.
Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum
Menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, apabila’urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus
dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan
‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf itu bisa diterima,sehingga nash yang
umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafzhi
yang telahberlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukkan
bahwa nash umum itu tidak dapat
dikhususkan oleh ‘urf . Misalnya,
kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang
menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
Apabila’urf
yang ada ketika datangnya nash
yang bersifat umum itu adalah ‘urf
al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahannya.
Menurut ulama Hanafiyyah, apabila ‘urf al-‘amali
itu bersifat umum, maka ‘urf
tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang
umum, karena pengkhususan itu, menurut ulama Hanafi, hanya sebatas al-‘urf al-‘amali yang berlaku;
diluaritu nash yang bersifat umum
tersebut tetap berlaku.161 Misalnya, dalam sebuah riwayat Rasulullah
saw.:
Nabi
melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan
dalam jual beli pesanan. (H.R. al-Bukhari dan Abu Daud)
Hadits Rasulullah ini, menurut
Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang
barangnya belum ada; kecauali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan
ini adalah akad istitsna’ (akad
161
Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr
al-Mukhtar, Mesir: al-Babi al-Halabi, Jilid IV, 1966, hal. 281 dan
seterusnya
yang
baerkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna’ ini telah menjadi ‘urf dalam masyarakat diberbagai daerah,
maka ijtihad para ahli fiqh—termasuk Jumhur Ulama—membolehkannya sesuai degan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi, Imam
al-Qarafi berpendapat bahwa ‘urf seperti
ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.162
3.
‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan’urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan,
maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf
itu bersifat umum, tidakdapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum
syara’, karena keberadaan ‘urf ini
muncul ketika nash syara’ telah
menentukan hukum secara umum.
Apabila ada ‘urf yang datang setelah ada nash
umumdan ‘urf itu bertentangan dengan
nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu me-nash-kan (membatalkan) nash; sedangkan’urf tidak bisa me-nash-kan nash. Dalam
masalah ini para ulama fiqh mengatakan, “’Urf
yang datang kemudian dari nash tidak
bisa dijadikan patokkan.”163
Akan tetapi, apabila ‘illat suatu nash syara’
adalah ‘urf itu sendiri, dalam arti
turunnya nash didasarkan atas ‘urf
al-‘amali—sekalipun ‘urf itu
baru tercipta—maka ketiaka ‘iila nash itu
hilang,hukumnya pun berubah. Dengan demikian, apabila ‘urf yang menjadi ‘illat hukum
yang dikandung nash itu berubah, maka
hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf.164
Misalnya, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan
ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah daimnya. Artinya,
apabila ayah anak perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan
Fulan,” lalu anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukkan kerelaannya,
karena sudah menjadi tabiat wanita yang suka merasa malau untuk menyatakan
kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan
zaman, parawanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin
dengan seseorang kepada ayahnya.
162
Syihabuddin Ahmad ibn Idris al-Qarafi, loc. cit.
163
Ibid.,
dan
lihat juga Zainal ‘Abidin ibn Nuja’im, op.
cit., hal. 133
164Ibn
al-Abidin, loc. cit.
Menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa,165
‘urf para anak gadis saat ini telah
berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan, apabila diminta
izinnya lalu ia diam saja, tidak dapat lagi diamnya itu diartikan sebagai
persetujuan. Sang ayah harus menunggu keterusterangan dari anak perawannya
ketika akan dinikahkan. Dalam hal ini,’urf
gadis remaja dalam masalah persetujuan yang menyangkut perkawinan mereka
telah berubah dari yang tercantum dalam hadits di atas, maka hukumnya pun harus
berubah. Perubahan ini disebabkan berubahnya ‘urf. Akan tetapi, Jumhur Ulama tidak sependapat dengan Abu Yusuf.
Apabila terdapat pertentangan anatara ‘urf denagn hasil ijtihad dengan metode ‘qiyas, istihsan, dan mashlahah al-mursalah, maka dalam kasus
seperti ini terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah
berpendapat bahwa apabila terjadi pertentangan antara ‘urf dengan ‘qiyas, maka
yang diambil adalah ‘urf, karena
mereka menganggap “’urfmenempati
posisi ijma’ ketika nash tidak ada.”166 Pengauatan
‘urf dari qiyas
bagi kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah melalui metode istihsan.167
Sedangkan mendahulukan ‘urf dari mashlahah al-mursalah, yang tidak didukung oleh nash secara khusus, menurut ulama
Malikiyyah juga sangat dipengaruhi oleh ‘urf,
karena kemaslahatan itu sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dan tempat. Ulama Syfi’iyyah dan Hanabilah, sebagaimana yang dikemukakan
Mushthafa Ahmad al-Zarqa,168 secara prinsip juga lebih mendahulukan
‘urf dari qiyas dan mashlahah
al-mursalah, karena qiyas dan mashlahah al-mursalah bukanlah nash, tetapi dalam penerapannya terjadi
beberapa perbedaan dengan pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah.Perbedaan
penerapan ini dapat dilihat dalam kasus menjual buah-buahan yang masih ada
dipohonnya, sebagian buah telah muncul, sedangkan sebagian lainnya belum
muncul, seperti buah semangka, anggur, dan terong. Seuai dengan kaidah qiyas jual beli ini tidak dibolehkan,
karena objek yang diperjualbelikan (semangka, anggur dan terong) belum utuh.
Akan tetapi, jual beli seperti ini sudah berlangsung dikalangan petani dan
telah menjadi ‘urf dikalangan mereka.
Oleh karena itu, menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, jual beli seperti ini
dibolehkan, karena jual
165
Mushthafa
Ahmad al-Zarqa’, op.cit., hal.
900
166 Kamal ibn al-Humam, op. cit, Jilid VI, hal. 157
167
Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, op. cit., hal.
914
168 Ibid.
beli
seperti ini telah menjadi ‘urf dikalangan
masyarakat petani buah di zaman mereka. Akan tetapi, ulama Syafi’iyyah dan
Hanabilah berpendapat jual beli ini tidak sah; sekalipun secara prinsip mereka
lebih mendahulukan ‘urf dari qiyas apabila terdapat pertentangan
antar keduanya.169
Sedangkan dalam pertentangan ‘urf
dengan istihsan, karena ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak
menerima kehujjahan istihsan, maka
dengan sendirinya mereka lebih mendahulukan ‘urf dari istihsan. Misalnya,
dalam masalah menjual buah-buahan dipohon sebelum seluruhnya matang. Menurut qiyas (kaidah umum) jual beli seperti
ini tidak sah, karena buah yang dijual belum jelas jumlahnya, belum matang
semuanya dan belum dipetik. Akan tetapi, karena jual beli seperti ini telah
menjadi ‘urf ditengah-tengah
masyarakat, maka para ulama mazhab sepakat mengatakan bahwa jual beli ini
boleh. Muhammad Baltaji (guru besar syari’at Islamdi Universitas Kairo, Mesir),170
mengatakan bahwa tatkala Imam al-Syafi’i berada di Mesir dan setelah mengamati
‘urf yang berlaku disana, banyak
sekali ia mengeluarkan fatwa yang didasarkan pada ‘urf, bahkan banyak diantara fatwanya ini berbeda dengan fatwanya
ketika di Hijaz dan Irak. Selanjutnya, Imam al-Syafi’i juga menuinggalkan qiyas dalam masalah masa kehamilan
maksimal seorang wanita. Menurut kaidah qiyas,
keamilan itu adalah sembilan bulan, karena hal itu telah menjadi kebiasaan
para wanita umumnya. Akan tetapi, Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa masa
kehamilan maksimal seorang wanita itu selama empat tahun. Fatwanya ini
didasarkan kepada penelitian dan pengalaman pribadinya setelah mengamati ‘urf yang berlaku didaerah-daerah yang
dikunjunginya. Oleh sebab itu, menurut Muhammad Baltaji, tidak mengherankan
apabila Imam al-Syafi’i banyak mengubah fatwa lamanya yang telah ia keluarkan
setelah mempelajari kebiasaan masyarakat
didaerah-daerah yang telah ia kunjungi. Dari sinilah munculnya al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadid (pendapat lama dan
penadapat baru) Imam al-Syafi’i.
Dikalangan Hanabilah sendiri, juga terdapat
banyak ketentuan hukum yang didasarkan kepada ‘urf, bahkan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli ushul fiqh Hanbali),171
mengatakan bahwa:
169
Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, op.
cit. Jilid II, hal. 833-834
170
Muhammad Baltaji, Manahij al-Tasyri’
al-Islami fi al-Qarn al-Tsani al Hijri, Riyadh:
Universitas Ibn Sa’ud al-Islamiyyah, Jilid II, 1977, hal. 864-867
171
Ibn Qayyim al-Jauziyah, loc. cit.
Suatu
fatwa bisa berubah karena perubahan zaman, tempat, lingkungan, niat dan adat
kebiasaan manusia.
Dasar dari ungkapan ini adalah ‘urf yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Muhammad Baltaji dan Mushthafa Ahmad
al-Zaqra’, seluruh ulama mazhab menjadikan ‘urf sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, ketika nash yang
menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan ‘urf denagn metode ijtihad lainnya, para
ulama mazhab juga menerima ‘urf, sekalipunkuantitas
penerimaan tersebut berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menerapkan konsep
‘urf secara luas, tetapi ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak demikian.
Ungkapan para ulama bahwa:
Perubahan
hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman dan tempat.
Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum
yang ditetapkan berdasarkan ijtihad, seperti qiyas, istihsan, dan mashlahahmursalah.
Adapun hukum-hukum yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath’i, tidak berubah karena perubahan
tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya riba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar