Rabu, 21 Desember 2016

'Urf





6. ‘Urf
     A. Pengertian ‘Urf
     Secara etimologi, ‘urf berarti “yang baik”. Para ulama                    ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan:147

     Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.

     Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah.
Di samping itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana juga adat bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.
     Adapun ‘urf menurut ulama ushul fiqh adalah:148
     Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
     Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar fiqh Islam di Universitas ‘Amman, Jordania), mengaakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf, menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada





147 Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al-‘Urf wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’, Mesir: Dar al-Fikr, al-‘Arabi, t.t., hal. 8
148 Ibid., lihat juga Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal ‘ala al-Fiqhi al-‘Am, Beriut: Dar al-Fikr, Jilid II, 1968, hal.840, dan ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, Nazhariyyah al-‘Urf, ‘Amman: Maktabah al-Aqsha, hal. 24

Pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimaa yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapanukuran tertentu dalam penjualan makanan.
     Yang dibahas para ulama ushul fiqh, dalam kaitannya denga salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ adalah ‘urf, bukan adat.
    
     B. Macam-macam ‘Urf
         Para ulama ushul fiqh membagi ‘urf kepada tiga macam:149
     1. Dari segi objeknya, ‘urf dibagi kepada: al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yag menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-‘amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
        a. Al-‘urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram,” pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
        Apabila dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain, maka tidak dinamakan ‘urf. Misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah dan di tangannya ada tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan tongkat ini.” Dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan seperti ini, menurut ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath (guru besar Fiqh di Universitas Amman, Yordania), tidak dinamakan ‘urf, tetapi termasuk dalam majaz (matafora).150




149 Ahmad Fahmi Abu Sunnah, op. cit., hal. 16 dan Ahmad Mushthafa al-Zarqa’, op. cit., hal. 844 dan seterusnya
150 ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, op. cit., hal. 35   
        b. Al-‘urf al-‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
        Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan mayarakat dalam melakukan akad/ transaksi denagn cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan masyarakat dalam berjual beli denagn cara mengambil barang dan membayar uang, tanpa adanya akad secara jelas, seperti yang berlaku dipasar-pasar swalayan. Jual beli seperti ini dalam fiqh Islam disebut dengan bay’u al-mu’athah.

     2. Dari segi cakupannya’ ‘urf terbagi dua, yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersitaf khusus).
        a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan .Contoh lain adala kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.
        b. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, di kalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya. ‘Urf al-khash seperti ini, menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat.151
     3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ ‘urf terbagi dua; yaitu al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
        a. Al-‘urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat-ayat hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
        b. Al-‘urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti pemninjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntunagn yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba’ al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang-piutang).152 Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut ulama ushul fiqh, termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.
          Contoh lain adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau utuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-‘urf al-fasid.







151 Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, op. cit., hal. 848-849, dan ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, op. cit., hal. 32
152 Ibid., hal. 37-38

C. Kehujjahan ‘Urf
     Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘urf al-lafzhi dan ‘urf al-‘alami, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’.
     Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-Qarafi (w. 684 H/ 1285 M./ ahli fiqh Maliki),153 harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H./ ahli ushul fiqh Maliki),154 dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M./ ahli ushul fiqh Hanbali),155 menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash  yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorrang yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum syari’at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas ditengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama mazhab menganggap sah akad ini. Alasan mereka adalah ‘urf al-‘amali yang berlaku.
     Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayata al-Qur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw. juga banyak sekali yag mengakui eksistensi ‘urf yang berlaku ditengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan dengan jual beli pesanan (salam). Dalam sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas dikatakan bahwa ketika Raulullah saw. hijrak ke Madinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan jual beli salam tersebut. Lalu Rasulullah saw. bersabda:




153 Syihabuddin Ahmad ibn Idris al-Qarafi, Anwar al-Baruq fi Anwa’ al-Furuq, Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1344 H, Jilid III, hal. 49
154 Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat..., op. cit., Jilid II, 179-188
155 Ibn Qayyim al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqi’in..., op. cit., Jilid II, hal. 293 dan Jilid III, hal. 3 dan seterusnya
     Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hedaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya (H.R. al-Bukhari).

     Dari berbagai kasus ‘urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, diantaranya adalah yang paling mendasar:
1.  Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.
2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.
3. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.
4. Yang ditetapkan melelui ‘uruf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadits).

     Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa hukum-hukum yang didasarkan kepada suatu ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.156

D. Syarat-Syarat ‘Urf
     Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu ‘urf, baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:157
1. ‘Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, ‘urf itu berlaku dalam














156 Ibid., lihat juga Jalaludin ‘Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, op. cit, hal. 80 dan 88
157 Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, op. cit, hal. 873, dan ‘Abdul ‘Aziz al-Khayyath, op. cit., hal. 52-57

mayoritas kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Akhirnya, ‘urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah ushuliyyah yang mengatakan:
     ‘Urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hukum terhadap kasus yang telah lama.158
3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang ke rumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri ke rumahnya, maka ‘urf itu tidak berlaku lagi.159
4. ‘Urf itu tidak bertentangan denagn nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini tidak dapaat dijadikan dalil syara’, karena kehujjahan ‘urf  bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

E. Pertentangan ‘Urf Dengan Dalil Syara’
     urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash  (ayat dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam persoalan pertentangan ‘urf dengan nash, para ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:160





158 Zainal ‘Abidin ibn Ibrahim ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha’ir ‘ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu’man, Mesir: Mu’assasah al-Halabi wa Syurakah, 1968, hal. 133
159 ‘Izzuddin ibn ‘Abdul Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beriut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid II, hal. 178
160 Lihat Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa..., op. cit., Jilid II, hal. 35-36 dan ‘Abdul ‘Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar, op. cit, Jilid II, hal. 2




1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/ rinci.
    Apabila pertentangan ‘urf dengan nash khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandnung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman Jahiliyah dalam mengadopsi anak, dimana anak yang diadopsi itu statusnya saman dengan anak kandung., sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dantidak dapat diterima.
2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum
    Menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, apabila’urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafzhi dengan ‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafzhi, maka ‘urf itu bisa diterima,sehingga nash  yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf  al-lafzhi yang telahberlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf . Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‘urf, kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.
    Apabila’urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu adalah ‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat ulama tentang kehujjahannya. Menurut ulama Hanafiyyah, apabila ‘urf  al-‘amali itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum, karena pengkhususan itu, menurut ulama Hanafi, hanya sebatas al-‘urf al-‘amali yang berlaku; diluaritu nash yang bersifat umum tersebut tetap berlaku.161 Misalnya, dalam sebuah riwayat Rasulullah saw.:
    Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual beli pesanan. (H.R. al-Bukhari dan Abu Daud)

    Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecauali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istitsna’ (akad







161 Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, Mesir: al-Babi al-Halabi, Jilid IV, 1966, hal. 281 dan seterusnya
yang baerkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna’ ini telah menjadi ‘urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh—termasuk Jumhur Ulama—membolehkannya sesuai degan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi, Imam al-Qarafi berpendapat bahwa ‘urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.162
3. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan’urf tersebut.
    Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat ‘amali (praktik), sekalipun ‘urf itu bersifat umum, tidakdapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum.
    Apabila ada ‘urf yang datang setelah ada nash umumdan ‘urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu me-nash-kan (membatalkan) nash; sedangkan’urf tidak bisa me-nash-kan nash. Dalam masalah ini para ulama fiqh mengatakan, “’Urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa dijadikan patokkan.”163
    Akan tetapi, apabila ‘illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri, dalam arti turunnya nash didasarkan atas ‘urf  al-‘amali—sekalipun ‘urf itu baru tercipta—maka ketiaka ‘iila nash itu hilang,hukumnya pun berubah. Dengan demikian, apabila ‘urf yang menjadi ‘illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf.164 Misalnya, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah daimnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukkan kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita yang suka merasa malau untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, parawanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.



162  Syihabuddin Ahmad ibn Idris al-Qarafi, loc. cit.
163 Ibid., dan lihat juga Zainal ‘Abidin ibn Nuja’im, op. cit., hal. 133
164Ibn al-Abidin, loc. cit.

    Menurut Mushthafa Ahmad al-Zarqa,165urf para anak gadis saat ini telah berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan, apabila diminta izinnya lalu ia diam saja, tidak dapat lagi diamnya itu diartikan sebagai persetujuan. Sang ayah harus menunggu keterusterangan dari anak perawannya ketika akan dinikahkan. Dalam hal ini,’urf gadis remaja dalam masalah persetujuan yang menyangkut perkawinan mereka telah berubah dari yang tercantum dalam hadits di atas, maka hukumnya pun harus berubah. Perubahan ini disebabkan berubahnya ‘urf. Akan tetapi, Jumhur Ulama tidak sependapat dengan Abu Yusuf.
    Apabila terdapat pertentangan anatara ‘urf denagn hasil ijtihad dengan metode ‘qiyas, istihsan, dan mashlahah al-mursalah, maka dalam kasus seperti ini terdapat perbedaan pendapat. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa apabila terjadi pertentangan antara ‘urf dengan ‘qiyas, maka yang diambil adalah ‘urf, karena mereka menganggap “’urfmenempati posisi ijma’ ketika nash tidak ada.”166 Pengauatan ‘urf  dari qiyas bagi kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah melalui metode istihsan.167
    Sedangkan mendahulukan ‘urf dari mashlahah al-mursalah, yang tidak didukung oleh nash secara khusus, menurut ulama Malikiyyah juga sangat dipengaruhi oleh ‘urf, karena kemaslahatan itu sendiri berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ulama Syfi’iyyah dan Hanabilah, sebagaimana yang dikemukakan Mushthafa Ahmad al-Zarqa,168 secara prinsip juga lebih mendahulukan ‘urf dari qiyas dan mashlahah al-mursalah, karena qiyas dan mashlahah al-mursalah bukanlah nash, tetapi dalam penerapannya terjadi beberapa perbedaan dengan pendapat ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah.Perbedaan penerapan ini dapat dilihat dalam kasus menjual buah-buahan yang masih ada dipohonnya, sebagian buah telah muncul, sedangkan sebagian lainnya belum muncul, seperti buah semangka, anggur, dan terong. Seuai dengan kaidah qiyas jual beli ini tidak dibolehkan, karena objek yang diperjualbelikan (semangka, anggur dan terong) belum utuh. Akan tetapi, jual beli seperti ini sudah berlangsung dikalangan petani dan telah menjadi ‘urf dikalangan mereka. Oleh karena itu, menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah, jual beli seperti ini dibolehkan, karena jual


165 Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, op.cit., hal. 900  
166  Kamal ibn al-Humam, op. cit, Jilid VI, hal. 157
167 Mushthafa Ahmad al-Zarqa’, op. cit., hal. 914
168 Ibid.
beli seperti ini telah menjadi ‘urf dikalangan masyarakat petani buah di zaman mereka. Akan tetapi, ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat jual beli ini tidak sah; sekalipun secara prinsip mereka lebih mendahulukan ‘urf dari qiyas apabila terdapat pertentangan antar keduanya.169

    Sedangkan dalam pertentangan ‘urf  dengan istihsan, karena  ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak menerima kehujjahan istihsan, maka dengan sendirinya mereka lebih mendahulukan ‘urf dari istihsan. Misalnya, dalam masalah menjual buah-buahan dipohon sebelum seluruhnya matang. Menurut qiyas (kaidah umum) jual beli seperti ini tidak sah, karena buah yang dijual belum jelas jumlahnya, belum matang semuanya dan belum dipetik. Akan tetapi, karena jual beli seperti ini telah menjadi ‘urf ditengah-tengah masyarakat, maka para ulama mazhab sepakat mengatakan bahwa jual beli ini boleh. Muhammad Baltaji (guru besar syari’at Islamdi Universitas Kairo, Mesir),170 mengatakan bahwa tatkala Imam al-Syafi’i berada di Mesir dan setelah mengamati ‘urf yang berlaku disana, banyak sekali ia mengeluarkan fatwa yang didasarkan pada ‘urf, bahkan banyak diantara fatwanya ini berbeda dengan fatwanya ketika di Hijaz dan Irak. Selanjutnya, Imam al-Syafi’i juga menuinggalkan qiyas dalam masalah masa kehamilan maksimal seorang wanita. Menurut kaidah qiyas, keamilan itu adalah sembilan bulan, karena hal itu telah menjadi kebiasaan para wanita umumnya. Akan tetapi, Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa masa kehamilan maksimal seorang wanita itu selama empat tahun. Fatwanya ini didasarkan kepada penelitian dan pengalaman pribadinya setelah mengamati ‘urf  yang berlaku didaerah-daerah yang dikunjunginya. Oleh sebab itu, menurut Muhammad Baltaji, tidak mengherankan apabila Imam al-Syafi’i banyak mengubah fatwa lamanya yang telah ia keluarkan setelah mempelajari kebiasaan  masyarakat didaerah-daerah yang telah ia kunjungi. Dari sinilah munculnya al-qaul al-qadim dan al-qaul al-jadid (pendapat lama dan penadapat baru) Imam al-Syafi’i.








    Dikalangan Hanabilah sendiri, juga terdapat banyak ketentuan hukum yang didasarkan kepada ‘urf, bahkan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli ushul fiqh Hanbali),171 mengatakan bahwa:




































169 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, op. cit. Jilid II, hal. 833-834
170 Muhammad Baltaji, Manahij al-Tasyri’ al-Islami fi al-Qarn  al-Tsani al Hijri, Riyadh: Universitas Ibn Sa’ud al-Islamiyyah, Jilid II, 1977, hal. 864-867
171 Ibn Qayyim al-Jauziyah, loc. cit.

    Suatu fatwa bisa berubah karena perubahan zaman, tempat, lingkungan, niat dan adat kebiasaan manusia.

    Dasar dari ungkapan ini adalah ‘urf yang berlaku ditengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Muhammad Baltaji dan Mushthafa Ahmad al-Zaqra’, seluruh ulama mazhab menjadikan ‘urf  sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash yang menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan ‘urf denagn metode ijtihad lainnya, para ulama mazhab juga menerima ‘urf, sekalipunkuantitas penerimaan tersebut berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menerapkan konsep ‘urf secara luas, tetapi ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak demikian.
    Ungkapan para ulama bahwa:
    Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman dan tempat.

    Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad, seperti qiyas, istihsan, dan mashlahahmursalah. Adapun hukum-hukum yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath’i, tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya riba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar