BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syaikh Muhammad Abduh adalah
seorang Mujahid dna Mujaddid yang terkenal . hal itu dapat dilihat dari
pandnagan–pandanganya yang berpengaruh besar terhadap umat Islam. Diantara
pandangany adalah mengenai Islam (Ibadah dan Muamalah), akal dan pikiran.
Menurut Abduh, ibadah telah diatur oleh Al-qur’an dan Hadist secara tegas,
jelas dan terperinci. Sedang masalah Muamalah haya dijelaskan prinsip-prinsip
nya saja, karen perikehidupan manusia selalu berubah, berkembang, dan Dinamis.
Dalam Islam, manusa dengan akalnya sebenarnya dapat mengenali Allah
Swt dan sifat-sifatnya, kewajiban bebuat baik dan menjauhi berbuat jelek.
Sementara tentang hari akhir dan alam gaib, manusia dapat mengetahui dari
peredaran waktu.
Oleh karena itu, maka sebenarnya
peradaban manusia mendapat perhatian yang besar dalam Islam. Menurut
Abduh kenyataa itu berbeda dengan yang terjadi di dalam Kristen yang tidak
toleran terhdap ilmu pengetahuan dan filsafat, ajaran-ajaranya banyak
bertentangan dengan hukum alam dan tidak Rasional , melakukan sensor buku-buku
dan mahkamah inquisi-penyelidikan serta melakukan rekanan terhadap ilmuwan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup Syaikh Muhammad Abduh?
2.
Apa saja karya-karyanya?
3.
Bagaimana pemikiran dari Syaikh Muhammad Abduh?
4.
Siapa yang menjadi murid dan pengikut Syaikh Muhammad Abduh?
5.
Bagaimana ulasan mengenai Syaikh Muhammad Abduh?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui riwayat hidup Syaikh Muhammad Abduh.
2.
Untuk mengetahui karya-karya Syaikh Muhammad Abduh.
3.
Untuk mengetahui bagaimana pemikiran dari Syaikh Muhammad Abduh.
4.
Untuk mengetahui murid dan pengikut dari Syaikh Muhammad Abduh.
5.
Untuk mengetahui ulasan dari Syaikh Muhammad Abduh.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Riwayat Hidupnya
Syaikh Muhammad abduh (Mesir, 1265-1323/1849-1905 M) adalah seorang
pemikir, teolog telah lama bertempat tinggal di Mesir. Sedangkan ibunya bernama
Junainah, berasal dari suku yang pemerintahan Arab asli yang masih bersilsilah
sampai kepada Sayidina Umar bin Khatab. Dia lahir pada masa dan pembaru dalam
Islam di Mesir. Ayahandanya Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki Muhammad
Ali Pasha.
Ayahnya adalah penduduk di Mahallah Nasr, daerah Subrakhit, dari
provinsi Buhairah Mesir selatan, seorang petani sedang yang dipandang sering
sewenang-wenang, maka ayahnya pindah ke provinsoi Gharbiyah dan menetpa di situ
selama 15 tahun dan akhirnya kembali lagi ke daerah asalnya.
Setelah pulang ke kampung halamannya, ayahnya kemudian kawin lagi
dan dari istri kedua ini lahir beberapa anak. Dengan demikian, maka Syaikh
Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah tangga yang terdiri dari istri-istri dan
anak-anak. Keadaan rumah tangga orang tuanya yang demikian ini, ternyata
berpengaruh terhadap pemikirannya, khususnya tentang masalah poligami.
Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru kepada ayahnya sendiri
di rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya ialah membaca, menulis, dan
menghafal Qur’an. Hanya dalam jangka usia 14 tahun ia dikirim ayahnya ke Tanta
untuk belajar i Masjid Al-Ahmadi (al-Jam’i Al-Ahmadi). Di sini, di samping
melancarkan hafalan Al-Qur’annya, dia juga belajar bahasa Aran dan fiqih.
Setelah belajar dua tahun, Abduh merasa bosan karena sistem pengajarannya
memakai metode hafalan. Dengan rasa kecewa Abduh kembali ke Mahallat Nasr.
Pada 1282H/1866 M Abduh memasuki hidup berumah tangga. Setelah 40
hari setelah menikah, Abduh dipaksa ayahnya untuk kembali ke Tanta untuk
melanjutkan pelajarannya. Dalam perjalanannya ke Tanta, Abduh mengubah haluan
menuju desa Kanisah untuk bertemu dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr. Dia
adalah pengikut Tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang
luas karena banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir.
Charles C. Adam menerangkan bahwa memerhatikan Abduh yang bosan
belajar di Tanta, maka pamannya mengimbau dan memberi pengertian agar dia mau
belajar dengan bersemangat. Berkat dorongan dan motivasi pamannya itulah, Abduh
akhirnya mau belajar lagi. Untuk sementara dia belajar kepada pamannya sendiri
dengan ilmu yang ditekuninya adalah kebanyakan menyangkut Tasawuf.
Kemudian dia melanjutkan pelajarannya di Masjid Al-Ahmaid dan pada
1866 dia resmi masuk di Al-Azhar. Di perguruan tinggi Islam yang paling populer
itu ternyata Abduh tidak menemukan sesutau yang baru. Materi pelajaran dan
metodenya tidak jauh berbeda dengan di Tanta sebelumnya.
Kebosanannay itu disampaikan kepada pamannya, Syaikh Darwisy, bahwa
di Al-Azhar dia merasa kecewa pula. Pamannya lalu menyarankan supaya tetpa
belajar di Al-Azhar, di samping menuntut ilmu kepada ulama-ulama di luar
Al-Azhar. Saran tersebut dipatuhi oleh Abduh. Dia belajar ilmu-imu pengetauan
yang tidak diajarkan di Al-Azhar, seperi Filsafat, Logika, dan metematika
kepada Syaikh Hasan At-Tanwil.
Abduh dan kawan-kawannya berkesempatan berdialog dengan tokoh
pembaru, bernama Jamaluddin Al-Afghani (1870). Di sinilah awal perkenalah Abduh
dengan Jamaludin Al-Afghani yang kemudian menjadi gurunya pula. Melalui
Jamlauddin, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat, matematika, teologi,
politik, dan jurnalistik. Bidnag pengetahuan yang menarik perhatian Abduh ialah
teologi, terutama teologi Mu’tazilah. Buku yang dipelajarinya ialah Syarh
at-Taftazani ‘Ala al-‘Aqa’id an-Nasafiyah (Penjelasan Taftazani tentang
Kepercayaan Aliran Nasafiyah).
Karena tertarik kepada pemikiran Mu’tazilah, Abduh lalu dituduh
ingin menghidupkan kembali aliran ini. Atas tuduhan ini ia dipanggil menghadap
Syaikh al-Laisi, tokoh ulama penentang Mu’tazilah. Ketika ditanya apakah ia
akan memilih Mu’tazilah, dijawabnya dengan tegas bahwa dia tidak bermaksud
taklid kepada aliran mana pun dan kepada siapa pun. Dia ingin menjadi pemikir
bebas. Peristiwanya ini nyaris membuatnya gagal memperoleh ijazah Al-Azhar.
Karena pengaruh gurunya tersebut, maka dia pada 2876 terjun ke
bidang wartawan. Setelah menamatkan pelajaran di Al-Azhar, dengan mendapat
ijazah Alimiyyah dia dinagkat menjadi guru di Darul Ulum. Akan tetpai, karena
sebab-sebab yang tidak diketahuinya, dia dibebaskan dari jabatannya itu dan
dikirim ke kampung halamannya. Sedangkan Jamaluddin sendiri diusir dari Mesir.
Pada 1880 Syaikh Muhammad Abduh dipanggil oleh Kabinet Partai Liberal untuk
diserahi jabatan Kepala Redaksi surat kabar al-Waqai’ al-Misriyah dna karena
kepemimpinannya yang baik dalam surat kabar tersebut dia menjadi buah tutur
orang banyak.
Meskipuntujua Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad Abduh sama,
yaitu pembaruan masyarakat Islam, namun cara untuk mencapai tujuan itu berbeda.
Kalau Jamaluddin menghendaki jalan revolusi, sedangkan Abduh memandang bahwa
revolusi dalam lapangan politik tidak akan ada artinya, sebelum ada perubahan
mental secara berangsur-angsur.
Pemberontakan Urabi Pasya di Mesir telah mengakhiri kegiatan Syaikh
Muhammad Abduh, karena pada akhir 1882 M dia diusir dari Mesir. Karena itu dia
pertama-tama pergi ke Beirut, kemudian pada awla 1884 pergi ke Prancis dan di
sana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin Al-afghani. Kedua tikoh ini kemudian
mendirikan suatu perhimpunan yang kuat dan menerbitkn majalah bulanan dengan
nama al-Urwah al-Wutsqa.
Tujuan perhimpunan ini ialah membersihkan Mesir akan bahaya Eropa,
terutama imperialisme Inggris. Meskipun majalah ini hanya berusia delapan bulan
saja, namun besra pengaruhnya dalam membangunkan semangat kebangunan di dunia
Timur Islam.
Atas nama perhimpunan tersebut, pada 1884, dia pergi ke London,
dengan maksud untuk mengetahui niat yang sebenarnya dari orang-orang yang
bertanggungjawab di London, tentang pendudukan tentara Inggris di Mesir. Di
sana dia menjadi tamu temannya yang karib, yaitu seorang Inggris bernama Blunt.
Dalam percakapannya dengan beberapa anggota Parlemen Inggris dan
dengan Lord Hartington, menteri peperangan Inggris pada waktu itu (hidup
1833-1908), dia dianggap sebagai tokoh revolusi Mesir, dan Syaikh Muhammad
Abduh menyatakan dengan tegas keinginan rakyat Mesir akan kepergian tentara
Inggris dari negerinya. Keinginan tersebut juga dikamukakan kepada wakil-wakil
surat-surat kabar Inggris, antara lain Times, Truth dan Pall Mall Gazette.
Setelah selesai berkunjung ke London dia kembali lagi ke Prancis,
kenudian pergi ke Tunisia dan di sini dia mempropagandakan perhimpunannya itu,
tetapi dengan tiba-tiba dia mengakhiri kegiatannya itu, lalu pergi ke Beirut
pada awal 1885 dan menetap di sana. Di Beirut kegiatannya dialihkan kepada
bidang pendidikan, dan mulai mengajar, mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman dan
seluk-beluk bahasa Arab dan menulisnya.
Ketika sudah diperbolehkan kembali ke Mesir pada 1889, dia terus
pergi ke Kairo. Kemudian dia segera diangkat menjadi hakim pada Pengadilan
Negri di kota Banha (ibukota provinsi Qolyubiyah), kemudian pindah ke
Pengadilan Negeri Zaqazid (ibukota provinsi Syarqiah), kemudian pindah lagi ke
Pengadilan Negeri Abidin (dalam kota Kairo). Dua tahun kemudian dia diangkat
menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (Pengadilan Banding Mahkamah
al-Isti’naf).
Diantara hasil pekerjaannya dalam lapangan pengadilan ialah
usul-usulnya tentang perbaikan Pengadilan Agama (al-Mahkamah asy-Syari’ah),
yang dimaksudkannya dalam bukunya “Tafsir fi Ishlah Isti’naf).
Pada 1889 M dia memangku jabatan keagamaan yang tertinggi di Mesir,
yaitu Mufti dan jabatan ini dipangkunya terus sampai wafatnya (1908) dia
menjadi anggota Dewan Perundang-Undangan Parlemen yang merupakan fase permulaan
kehidupan parlementer di Mesir.
Pada 1894 dia menjadi naggota pimpinan tertinggi Al-Azhar (conseil
superieur) yang dibentuk berdasarkan anjurannya, dan di sini (Al-Azhar) selain
mengadakan pembauan-pembaruan juga dia sendiri aktif memberikan pelajaran.
Pada musim panas tahun 1903 M ia pergi ke Inggris. Kali ini bukan
untuk maksud-maksud politik, melainkan rupanya khusus untuk mengadakan tukar
pikiran dengan filosuf Inggris yang terkenal, yaitu Herbet Spencer (1820-1903).
Sunggun pun pertemuan keduanya tidak berlangsung lama, karena kesehatan Spencer
tidak mengizinkan, namun pertemuan itu telah meninggalkan kesan yang mendalam
pada diri Syaikh Muhammad Abduh.
2.
Karya- Karyanya
Syaikh
Muhammada Abduh meninggalkan karya-karyanya, antara lain:
a.
Risalah at-Tauhid
Pada tahun 1882 di mesir terjadi
pemberontaka yang di pelopori oleh ‘Urabi Pasha, yang nama Abduh menjadi
penasihatnya. Ketika pemberontakan itudapat dipadamkan, maka risikonya Abduh
diusir dari Negr esir, dan akhirnya memilh di Syria (Beirut). Di sini dia
mengajar pada perguruan As-Sulthaniyah
pada tahun 1885 sekitar setahun lamanya, mengajarkan ilmu Tauhid,
Fiqh, dan Sejarah Islam. Hasil pelajaran tersebut, kemudian dibukukan dan
menjadi bahan pelajaran di Sekolah Menengah Al-Azhar, ketika dia telah di
izinkan pulang ke Mesir. Jadi, Risalah At-Tauhid adalah karya hasil pengalaman
mengajar ketika di Syria.
b.
Al-Islam Wan-Nashraniyah Ma’al-Ilmi Wal-Madaniyah
Ditulis tahun 1902, buku ini
memperbandingkan antara pandangan islam dan Kristen tentang ilmu, peradaban,
watak kedua agama itu dan keadaan Islam watak itu,penyakit yang melanda umat
Islam dan bagaimana terapinya. Pada bab penutup dikupas pemikiran filosof Ibnu
Rusydi dan terakhir terakhir berisi tentang kesan dan tanggapan terhadap buku
tersebut baik dari kalangan Islam maupun Kristen.
c.
Syarah kitab Al-Bashair al-Nashiriyah karangan Syaih Al-Qadhi
Zainuddin, tahun 1898.
d.
Tafsir Al-Manar
Tafsir ini mula-mula merupakan bahan
kuliah di Al-Azhar mulai tahun 1899. Muridnya yang setia adalah Sayid Rasyid
Ridha menulisnya kembali dengan rapi. Stelah di teliti dan di sepakati oleh
Abduh, lalu disiarkan melalui majalah Al-manar. Kuliah tafair ini , baru sampai
surat An-Nisa ayat 125, karena beliau meninggal dunia tahun 1905. Selanjutnya
tafsir Al-Manar diteruskan oleh Sayid Rasyhid Ridha, sampai selesai.
e.
Ide pemikiranya bersama-sama dengan gurunya, Sayyid Jamaluddin
Al-Afghani, ditulis di majalah Al-Urwah AL-Wutsqo, untuk menyadarkan dan
mempersatukan pikiran umat diseluruh negri Muslim. Di ratapinya kemunuran
negri-negri Muslim dan diserunya supaya manju di bawah panji-panji agama dan mengusir
penjajah barat. Majalah tersebut di teritkan di Paris ketika keduanya pada masa
pengasingan.
f.
Ar-Raddu, ‘Ala al-Dahriyyah tahun 1886, berisi penolakan
pemikiran-pemikiran yang materialis sejak jaman Jahiliyah memang telah ada.
g.
Syahrul Balaghah, tahun 1885
h.
Syarah Maqamat Badi’izzaman Al-Hamadani, tahun 1889
i.
Menerjemahkan karangan Hebert Sneeper, filosuf Inggris, ke dalam
bahasa Prancis, berjudul L’Education (Nasution:62-74; Adam: 48-49).
j.
Durus Min Al-Quran (berbagi pelajaran dari Al-Quran)
k.
Hasyiyah ‘Ala Syarhid-Dawwani al-Aqa’id al-Adudiyah (komentar
terhadap penjelasan Ad-Dawwani tentang aqidah yang meleset).
l.
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim juz ‘Amma.
3.
Pemikiran Tentang
a.
Islam
Telah dimaklumi bahwa pemikiran Abduh banyak berpengaruh di
Indonesia melalui orgnisasi-organisasi Islam seperti Al-Irsyad, Persatuan
Islam, Muhammdiyah dan Sumatra Thawalib. Pemikiran-pemikiran KH. Ahmad Dahlan,
pediri Muhammadiyah ternyata berasal dari Abduh.
Corak pemikiranya terjadi silang pendapat dikalangan para pengamat
dikemudian hari, mengapa kita tidak bermadzhab, apakah teologinya bercorak
Al-Asy’ari, Al-Maturidi Smarkad, Al-Maturidi al-Bazdawi atau jurus Mu’tazilah?
Memang Abduh adalah pribadi yang unik. Waktu muda nya pernah
belajar tarekat kepada pamanya, Syaikh Darwisi Mursyid tarekat Syaid Ziliah.
Setelah belajar di Al-Azhar dia sering tidak puas terhadap metode belajar dan
materi yang diajarkanya. Apalagi setelah berkenalan dan menjadi pengagum dari Sayyid
Jamaluddin Al-Afghani, seorang tohoh Syiah Itsna As-Syariah, di samping dia
belajar jurnalistik darinya.
Dia ingin bebas dari ikatan-ikatan Madzhab dan paham keagaman,
memiliki cara befikir yang lebih bebas, banyak membaca buku Filsafat,
memperdalam perkembangan fikiran kaum rasional islam ( Mu’tazzilah), maka
akhirnya banyak Syaikh-Syaikh di Al-Azhar menuduhnya telah meninggalkan faham
Al-Asy’ari.
Menurut Abduh, orang tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran
Islam yang asli seperti yang dianjurkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan
gerakan wahabinya. Karena zaman sudah berubah, dan ajaran Islam perlu
disesuaikan dengan keadaan Modern sekarang.
Dia bependapat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an
dan Hadist mengenai ibadah itu tegas, jelas dan terperinci. Sedangkan ajaran-ajaran
mengenai Muamalat hanya merupakan dasar-dasar yang Global. Karena
prinsip-prinsipnya bersifat umum tanpa rincian. Maka masalahnya memungkinkan
dapat di sesuaikan dengan tuntunan zaman.
Untuk keperluan itu, perlulah adanya interpretasi baru dan
karenanya perlu pula adanya pintu Ijtihad dibuka. Hal ini merupakan suatu
keharusan dan tuntunan. Tetapi yang boleh berijtihad hanyalah orang-orang
tertentu yang memenuhi persyaratan-persyaratanya.
Pemberantasan terhadap talqid dan di bukanya pintu ijtihad, menurut
pendapat Abduh, berdasarkan keprcayaan pada kekuatan akal. Islam menempatkan
akal pada posisi yang tinggi. Wahyu tidak membawa ajaran-ajaran yang
bertentangan dengan akal. Wahyu dan akal sama-sama bersumber darinya, mustahil
terjadi pertentangan antara keduanya. Apabila zhahir nash tampak bertentangan
dengan akal, maka harus di interpretasikan yang membuat nash itu dapat dipahami
sesuai dengan pemahaman akal.
Abduh menjelaskan bentuk-bentuk ibadah dan bermacam-macam upacara
peribadatanya yang bebeda-beda dalam beberapa agama-agama yang sah, dulu dengan
sekarang serta perbedaanya yang di bawa agama pada waktu dulu dengan sekarang
serta perbedaanya yang dibawa agama yang di bawa pada waktu dulu itu dengan
agama sekarang, maka semua itu adalah berdasarkan rahmat Allah swt. dan
kemurahanya yang telah memberikan bagi segala bangsa pada segala zaman pa yang
dipandang Allah swt. baik dan sesuai pada zaman umat itu masing-masing.
Sebagaimana sunah Allah swt. (hukum alam) berlaku, dan ibadah yang mengatur
seluruh alam hati, yakni dengan secara evolusi (berangsur-angsur) dalam
mendidik manusia itu keluar dari kandungan perut ibunya yang tidak mengerti
apa-apa. Lants berkembang terus sampai akalnya cerdas tumbuh sempurna sehingga
dengan akalnya itu manusia dapat menyingkap tabir pemisah,dan dengan pikiranya
dia dapat menemukan rahasia alam. Demikian pula sunah Allah swt.
b.
Akal Pikiran
Akal adalah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Karena
itulah pula yang membedkn manusia dengan makhluk yang lain, seperti benda-benda
padat, tumbuh-tumbuhan, dan binatang-binatang sekalipun. Akal merupakan pangkal
kehidupan manusia yang menjadi sendi klangsungan hidupnya.
Manusia melalui beberapa periode, yaitu dari bayi, anak-anak,
remaja, dewasa, dan tua. Dalam berfikirnya tentu manusia mengalami
tahap-tahapan. Dalam beragama, manusia di bekali akal untuk memhami
ajaran-ajaranya. Agama bagi umat-umat yang terdahulu, yang dapat di ibaratkan
mereka itu masih taraf anak-anak, maka ajaran-ajaran agama yang diturunkan
kepada mereka bersifat mutlak, perintah, larangan, dan penyerahan diri kepada
Tuhan.
Ketika tahapan mereka telah meningkat ke tingkat remaja, maka kitab
agama kepada mereka itu dibagikan seorang Bapak yang menghadapianak-anaknya,
mulai dari sentuhan perasaanya, di kenalkan alam ukhrowi, hidup yang lebih
santun dan penuh muatan moral. Sewaktu tahapan manusia telah dewasa, maka datanglah
syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Ajaran-ajaranya yang berkitab pada
akal dan bukan lagi hanya dengan perasaan, karena syariat islam harus
menghadapi umat manusia yang telah maju tingkat peradabanya, berusia dewasa dan
menghendaki agama yang rasional. Apa yang mreka tuntut itu dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran Islam.
Kemudian, usia manusia telah membawa
kepada umur dewasa, sedang peristiwa-peristiwa kejadian yang silam itu telah
dapat memberikan keadaran baginya. Maka datanglah Islam menghadapkan
pembicaraanya kepada akal, dan agama menyeru, memanggil paham pengertian
manusia yang disertakan dengan keinsafan dan perasaanya untuk membimbing
manusia menuju kepada kebahagiaan kehidupanyadi dunia dan akhirat. Islam
menjelaskan kepada manusia apa yang menjadi persengketaan diantara mereka, dan
membukakan pula kepada mereka segi-segi mana yang dipersengketaan itu. Pada
semua bangsa dan golongan itu sebenarnya satu dan tujuanya untuk memperbaiki
keadaan diri dan mensucikan hati mereka adalah satu pula.
Menurut
Abduh, dengan akal manusia dapat:
1).
Mengetahui Allah Swt, dan sifat-sifatnya
2).
Mengetahui adanya hidup di akhirat
3). Mengetahui bahwa kebahagiaan
jiwa di akhirat bergantung pada mengenaL Allah Swt , dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraan
bergantung pada tidak mengenal Allah Swt. dan pada perbuatan jahat
4). Mengetahui wajibnya manusia
mengenal Allah
5). Mengetahui wajibnya manusia
berbuat baik dan wajibnya dia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di
akhirat
6). Membuat hukum-hukum mengenai
kewajiban-kewajiban itu
Dengan demikian, whyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat
dan keadaan hidup manusia di sana, untuk mengetahui sifat kesenngan serta
kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya nanti, untuk mengetahui
bahwa di sana ada malaikat,dsb. Sungguh pun semua itu sukar bagi akal untuk
memahaminya, tetapi akal dapat menerima danya hal-hal itu.
Wahyu selanjutnya menolong akal
dalam mengatur msyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam
mendidik manusia untuk hidup dengan damai dengan sesamanya dan dalam membukukan
rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat.wahyu
selanjutnya membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban
seperti kejujuan, berkta Benar, menepati janji ,dan sebagainya.
c.
Peradaban
Pandangan Abduh tentang peradaban ini dapatlah kita lacak melalui
karyanya sendiri berjudul “ Al-Islam Wan Nashraniyah ma’a al-ilmi Wal
Madaniyah”.
Dalam karya tersebut Abduh membandingkan perbedaan pandangan Islam
dan Kristen tentang peradaban dan ilmu. Digambarkan watak dan ciri spesifik
yang terdapat dalam agama Islam dan Kristen sendiri. Karya tersebut ditulis
sebagai jawaban atas reaksi tulisan yang di muat dalam majalah Kristen
Al-Jami’ah dan surat kabar Kristen Al-Wathan. Kritikan-kritikan terhadap islam
yang dimuat pada media-media tersebut di jawab oleh Abduh melalui Al-Manar.
Dalam majalah Al-Jami’ah No.08 tahun III, ditulis bahwa agama
Kristen itu lebih toleran di banding agama Islam. Dengan alasan bahwa
pemikir-pemikir Kristen pernah mengkritik tetapi mereka tidak dikenai hukuman
dan sanksi apa-apa. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pda diri Ibnu
Rusyid filosof Andaluisia, yang terlalu berfikiran Aristolestis, sampai dihina
di muka umum dan diludahi mukanya.
Abduh juga mengatakan bahwa Islam lebih luas sopan santunya dari
pada Kristen. karna agama Islam belum pernah menghukum bakar seseorang
hidup-hidup semata-mata karna dia menyimpang dari akidah Islam.
Kemudian majalah Al-Jami’ah menempatkan kembali pembicaraan pertama
sebagai pembicara terakhir, dengan katanya: apakah toleransi itu hanya
diharuskan terhadap kaum kerabat saja, atau juga terhadap orang-orang asing?
Dan apakah tidak teringat bangsa-bangsa beragama Islam melawan pemerintah-pemerintah
mereka yang disebbkan kepercayaan-kepercayaan agama?
Peperangan yang mana menyebabkan lemahnya umat Islam dan pecahnya
perstuan mereka. Apakah karena agama Kristen memerangi seseorang dan
membunuhnya, ia akan dikatakan memerangi kemanusiaan, sedang Islam tidak mau
dikatakan demikian walaupun kalangan mereka sudah terjadi pepernagan antara
bangsa dengan bangsa, antara umat dengan umat?
Kemudian kata Al-Jami’ah lagi: “Tanpa mengadakan keputusan antara
dua pendapat di atas, tetapi sekligus telah membuat kesipulan”.
Kesimpulan pertama, kita melihat bahwa kekuasaan dunia dalam Islam
selalu dibarengi dengan kekuasaan agama dengan menggunakan hukum syara’, karena
hakim tertinggi jug aseklaigus memegang jabatan khalifah. Oleh karena itu
“toleransi” yang diharapkan dari sistem kekuasaan yang berlaku dalam agama
Ktisten.
Agama Ktisten telah membuat pemisahan dalam bentuk yang sangat
indah dan telah membentangkan jalan untuk alam ini menuju yang sejati.
Pemisahan itu berasal dari stau kalimat dalam Injil, yaitu: “Berikanlah semua
kepunyaan kaisar kepada kaisar dan kepunyaan Allah Swt kepada Allah Swt!” Oleh
karena itu, kekuasaan dunia menurut sistem Islam ini, memberikan kesempatan
pada agama untuk menekan kemerdekaan pribadi-pribadi karena kepercayaan yang tertentu
bahkan untuk membunuh mereka dan menyirmai permukaan bumi dengan darah
orang-orang yang tidak bersalah, pastilah sistem itu dapat disebut telh melukai
perikemanusiaan dengan sangat parah. Dengan demikian tidak mungkin toleransi
yang ada dalam sistem kekuasaan agama Kristen. karena nyata di sana ada
kekurangan, walauoun kekurangan itu berasal dari kekurangan saudaranya sendiri.
Padahal tak ada kekurangan yang lebih besar daripada kekurangan orang yang
mampu membuatnya lebih sempurna.
Kesimpulan kedua, ilmu pengetahuan dan filsafat sampai sekarang
telah mendapat tmrpst terhormat dan bebbas drai ekanan-tekanan agama Kristen,
oleh karenanya tumbuhlah keduanya dengan subur di bumi Eropa dan menjadi matang
sehingga membuahkan kemajuan-kemajuan baru. Sebaliknya, keduanya belum dapat
tempat untuk bebas dari tekanan-tekanan agama Islam. Dengan demikian, jelaslah
terbukti bahwa agama Kristen lebih memiliki toleransi daripada agama Islam.
Tidak ada peperangan antara sesama kaum muslimin karena akidah
agama, tetapi pepernagan itu terjadi karena faktor politik (siysah), hawa nafsu
dan ketamakan terhadap materi dan kekuasaan.
Toleransi Islam terhadap ilmuwan dan filsafat, dicontohkan sikap
khalifah Al-Makmum dari Bani Abbasiyah, berkata: “Para ahli ilmu dan hikmah adalah
orang pilihan Allah Swt diantara makhluk-Ny. Karena mereka itulah yang telah
memusatkan perhatian untuk mencapai keutamaan-keutamaan akal dan mereka telah
memperoleh tempat yang tinggi dengan keutamaan yang ada pada mereka. Lepas
bebas dari kotoran yang mencemarkan. Mereka menjdi cahaya yang terang dari alam
ini, dan mereka juga meletakkan peraturan-peraturan alam semesta. Andai mereka
tidak ada, jauhlah alam ini dari kejahilan dan kebodohan”.
Abduh
menegaskan bahwa agama Kristen itu:
1.
Ajaran-ajarannya aneh-aneh dan bertentangan dengan hukum alam.
2.
Dominasi kekuasaan pemikiran-pemikiran agama.
3.
Meninggalkan kehidupan dunia, lebih tertuju kepada kerajaan rohani.
4.
Ajaran-ajarannya tidak masuk akal.
5.
Menentang ilmu pengetahuan, melakukan sensor buku-buku dan adanya
mahkamah inquisisi penyelidikan.
6.
Melakukan tekanann terhadap kaum Muslimin, orang-orang Yahudi, dan
para ilmuwan pada umumnya.
4.
Murid dan Pengikutnya
Abduh meninggalkan murid-murid yang setia, yang bergaul dan belajar
secara formal maupun informal kepadanya. Sedangakn pengikut-pengikutnya ialah
pihak-pihak yang tidak sempat menjadi muridnya, tetapi dalam hal pemikiran
pembaruan banyak mengambil ide-ide dari Abduh.
Baik sebagai murid-murid maupun pengikutnya mereka meninggalkan
karya-karya yang bobot dalam bidangnya masing-masing. Diantara mereka ada yang
perlu penulis jelaskan ialah:
a.
Syikh Ahmad Mustofa Al-Maraghi, lahir di Maragol Mesir (
i881-1945), adalah murid Abduh yang paling senior, dia adalah ulama, guru basar
tafsir, penulis beberapa karya mantan
rektor Al-Azhar. Dia menyelsesaikan studynya di Al-Azhar tahun 1904, tercatat
sebagai alumni terbaik dan termuda. Selain itu pada tahun 1928 dia di
angakt sebagai rektor Al-Azhar, dalam
usia 47 tahun, rektor termuda sepanjang sejarah AL-azhar.
Dalam karua
tafsirnya, dia menggunakan metode yang berbeda. Yaitu setelah menyebutkan
beberapa ayat kemudian di terangkan mufradatnya, setelah penjelasan makna
secara singkat. Setelah itu, dituangkan al-makna al-jumali, pengertian
ayat-ayat secara global dan baru sesudah itu, diterangkan Al-tahlili, suatu
analisis pemikiran terhadap ayatayat tersebut. Sampai akhir hayatnya, dia
meninggalkan lebih dari 15 karangan, selain tafsir Al-Maraghi.
b.
Muhammad Frid Wjdi lhir 1875 H/1290 M di Al-Mina Mesir. Lulus
dokter 1848, dengan judul disertai : the al-azhar jaurnal, survey and critique.
Setahun kemudian, dia dikukuhkan seagai guru besar di Al-Azhar. Ada pula
sedikit perbedaan pemikiran antar Abduh dengan Farid Wajdi tetang kebudayaan.
Karya
karangan yang populer ialah Da Irah al-Ma’arif al-Isyrin dan Al-Madaniyah Wa
Al-Islam. Sedangkan disertasiya berjudul: The Al-Azhar journal and Critique.
c.
Syaikh Tantawi Jauhari, lahir di desa Kifr’Iwadillah Aston 1287
H/1870 M dan meninggal tahun 1358 H. Mula-mula belajar di Al-Azhar,kemudon dia
pindah ke Darul Ulum dan menyelesaikan studinya tahun 1311 H. Kariernya sebagai
pengajar di mulai dari tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah , dan akhirnya di
Universitas Darul Alam.
d.
Selanjutnya penulis bahasa, Fadhilah al-Ustadz al-Akbar Syaikh
Mahmud Syaltut, lahir 23 April 1883 di desa Miniyah Bani Manshur, distrik Itai
al-Bairud, keresidenan al-Bukhairah, Mesir. Wafat pada 19 Desember 1963. Dia
menjabat Rektor Universitas Al-Azhar, sampai akhir hayatnya dan merupakan ulama
terbesar sesudah Perang Dunia II dengan meninggalkan banyak karangan ilmiah.
Sesuai dengan tradisi masyarakat Islam diMesir pada waktu itu,
pendidikannya dimulai dengan belajar membaca Kitab Suci Al-Qur’an, dan setelah
berhasil menghafalkannya pada 1906 dalam keremajaannya berumur 13 tahun
dimasukinya Lembaga Pendidikan Agama, Al-Ma’had Al-Dini di Iskandariyah.
Belajar Ma’had ini, Mahmud Syaltut selalu mencapai ranking satu
pada setiap kenaikan kelas. Pelajaran dilanjutkan ke Universitas Al-Azhar, dan
mencapai derajat Syahadad Al-‘Alimiyah Al-Nizhamyah pada 1918, dengan nilai
cumloude. Pada 1919, dia diangkat menjadi guru pada Al-Ma’had al-Dini di
Iskandariyah.
Dia tidak hanya sibuk mengajar saja, tetapi juga aktif pada
beberapa kegiatan di luar kampus. Tilisan-tulisannya banyak menyajikan
pendapatnya tentang perbaikan-perbaikan Universitas Al-Azhar.
Pada 1927, dia diangkat sebagai dosen pada Universitas Al-Azhar di
Kairo. Dalam memperjuangkan ide-idenya, Syaltut agak bersikap revolusioner.
Pada tahun 1937, dia diutus mewakili Al-Azhar ke Kongres Internasional tentang
perbandingan perundang-undangan, dilaksanakan di Den Haag Belanda.
Pada 1941, dia menulis sebuah risalah tentang pertanggungjawaban
sipil dan pidana dalam syari’at Islam yang mendapat sambutan hangat, sehingga
dia diangkat secara aklamasi menjadi anggota Majelis ulama-ulama besar. Waktu
itu Syaltut menjadi anggota termuda dalam majelis tersebut.
Pada 192, Syaltut menyampaikan pidato yang berisi tiga ide
pemikiran dan pembaruan bagi Al-Azhar. Pada 1946, dia diangkat menjadi anggota
Lembaga Bahasa. Tahun 1950, dia diangkat menjadi pengawas umum pada Lembaga
Research dan kebudayaan Islam di Al-Azhar.
Di luar tugas-tugas akademik Syaltut menjadi anggota:
1.
Badan Tertinggi Hubungan Kebudyaan dengan Luar Negeri pada
Kementrian Penidikan dan Pengajaran Mesir.
2.
Dewan Tertinggi untuk Penyiaran Radio Mesir.
3.
Ketua Badan Penelitian Adat dan Tradisi pada Kementrian Sosial
Mesir.
4.
Badan Tertinggi untuk Bantuan Musim Dingin.
5.
Ulasan
Mengkaji tentang Syaikh Muhummad Abduh itu memang unik. Di masa
remaja dia pernah berguru tarekat Syadziliyah kepada pamannya sendiri, Syaikh
Darwis, seorang mursyid tarekat.
Semenjak belajar di Universitas Al-Azhar, untukmneghilangkan
kejenuhan dan kebosanan studinya, dia banyak belajar ilmu-ilmu yang tidak
ditemukan di ruang kuliahnya, terutama filsafat, logika, dan matematika. Ketika
berkenalan dengan Sayid Jamaluddin al-Afghani, seorang tokoh Syi’ah Itsna
‘Asyariyah, dia mulai menjadi pengagumnya dan belajar jurnalistik darinya.
Namun Abduh menyatakan tetap kritis dan netral dalam berpikir. Dia mengambil
metode (manhaj) berpikirnya dan bukan mengambil natijah berpikirnya.
Hal ini tampak sekali pada bantahannya atas tuduhan syaikh-syaikh
Al-Azhar bahwa Abduh telah meninggalkan pikiran-pikiran Al Asy’ari dan kemudian
berpindah ke ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Memang pemikiran teologi Abduh banyak persamaannya dengan pemikiran
teologi Mu’tazilah. Bahkan dia telah memberika kedudukan yang tinggi kepada
akal melebihi Mu’tazilah. Padahal Mu’tazilah merupakan rasionalis yang pertama.
Dengan demikian Abduh lebih rasional daripada Mu’tazilah itu sendiri.
Dalam bidnag teologi, menurut pendapatnya lebih dahulu dipergunakan
akal sehingga argumentasi untuk menentukan akidah. Dipandang dari sudut ini,
dia lebih bercorak filosofis daripada teologis, sebab lebih mendahulukan akal,
baru kemudian berpegang pada wahyu.
Abduh berbeda pandangan dengan gurunya, Sayid Jamaluddin
al-Afghani. Al-Afghani dalam perjuangan ditempuh secara revolusioner dengan
jalur politik, yaitu Pan Islamisme. Sedangkan Abduh berpendapat bahwa melalui
cara evolusi, jalur sosial dan pendidikan. Kesadaran nasionalisme Islam bisa
ditempuh melalui pendidikan dan mass media. Usaha-usaha pendidikan harus di
arahkan untuk mencintai diir sendiri, msyarakat dan negaranya.
Sayid Rasyid Ridha adalah murid setia dari Abduh, pemimpin redaksi
majalah Al-Manar. Murid yang satu ini ternyata juga berbeda dengan gurunya
(Abduh). Bila Abduh pada masa mudanya mempelajari dan pengikut tarekat
Syadziliyah dibawah bimbingnpamannya (Syaikh Darwisy), maka pada akhirnya dia
berpikiran netral, tidak mau terikat dengan madzhab dan aliran mana pun. Akan
tetapi, Ridha sekalipun dalam beberapa masalah bersesuaian pendapat dan menjadi
pendukung utama ide-ide pembarun gurunya, namun dalam beberapa masalah ternyata
berbeda pendapat. Harun Nasution menjelaskan: bahwa Ridho sebaliknya masih
memegang madzhab dan masih terikat ada pendapat Ibnu Hambal dan Ibnu Taimiyah.
Gerakan Muhammad Abd. Al-Wahab karena semadzhab, dia dukung dengan kuat.
Perbedaan dalam sikap liberal ini mungkin timbul dari keadaan guru
yang lebih banyak mempunyia kontak dengan peradaban Barat daripada murid. Guru
(Abduh) pernah tinggal di Paris dan pergi ke Inggris, sedangkan murid (Ridha)
hanya pernah mengunjungi Jenewa. Guru pandai berbahasa Prancis dan banyak
membaca buku-buku Barat, sedangkan murid sekikit sekali, atau bahkan sama
seklai tidak. Selanjutnya guru mempunyai sahabat-sahabat di kalangan
orang-orang Eropa sedangkan muridnya tidak.
Perbedaan antara murid dan guru tersebut kelihatan, umpamanya dalam
paham-paham teologi. Dalam memberikan tafsiran terhadap ayat antropomorfisme
atau tajassum, Muhammad Abduh lebih liberls dari Rasyid Ridha. Bagi guru ayat
yang menyatakan bahwa Allah Swt mempunyai wajah, tangan, kursi dan lain-lain,
harus diberi interpretasi, dalam arti hars dibaca apa yang tersirat dan bukan
yang tersuarat atau ditakwilkan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kursi
Allah Swt masih mengandung arti tahta, sungguh pun tahta Allah Swt tidak sama
dengan manusia. Di sini murid menampakkan salafnya.
Perbedaan itu kelihatan juga di dalam tafsir al-Manar, ketika murid
memberi komentar terhadap uraian guur. Dalam mengupas soal balasan di akhirat
yang disebut dalam ayat 25 surat Al-Baqarah umpamanya, Muhammad Abduh
menekankan tafsira filosofis. Tafsiran itu mengandung arti bahwa balasan yang
akan diterima bersifat rohani. Rasyid Ridha dalam komentarnya lebih menekankan
balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani saja.
Di samping itu, orng tua Ridha sendiri adalah seorang ulama ahli
tarekat Syadziliyah, yang karenanya dia pada waktu kecil telah mengenakan jubah
dn surban, bertelekun dalam pengajian dan wirid sebagai kebiasaan pengikut
tarekat Syadziliyah itu.
Dari uraian-uraian tersebut, maka dapatlah diambil berbagai
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Syaikh Muhammad Abduh, adalah seorang pemikir pembaruan Islam
(Mujaddid), yang pemikirannya masih tetap berdebgung sampai sekarang, melalui
karya-karyanya yang masih dapat dikaji dan jasa-jasa lainnya, yang diteruskan
dan dikembangkan oleh murid-muird dan pengikut-pengikutnya.
2.
Pandangan-pandangannya yang dianggap spesifik, yatu:
a.
Tentang Islam: agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai
risallah ‘ammah sebenarnya adalah agama yang rasional, sesuai dengan tingkat
perkembangan pemikiran manusia, sebagai penerus syariat Nbai-nabi sebelumnya.
Ditegaskan oleh Abduh bahwa karena caranya yang rasionalistik itulah, maka
dinamika kehidupan manusia harus diiringi peluang terbukanya pintu ijtihad bagi
pihak-pihak yang memenuhi syarat dan kecaman secara pedas bagi mereka yang
jumud dan taqlid.
b.
Tentang Akal: bahwa akal adalah karunia yang tiada tara
bandingannya. Dalam teologinya, jelaslah Abduh itu bercorak rasio-materialis,
maka agama Islam berwatak mempertemukan kedunya, Islam adalah agama peradaban.
Tertinggalnya umat Islam bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa Barat, bukanlah
karena ajaran-ajaran Islam itu sendiri, tetapilebih karena umatnya
meninggalkannya, tidak atau kurang mengamalkanny. Berbeda halnya orang-orang
Barat Kristen maju, justru karena mereka meninggalkan ajaran-ajaran agamanya
dan menolak tradisi gereja.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Membahas Syaikh
Muhammad Abduh adalah cukup unik, tidak cukup hanya beberapa halaman. Karena
Abduh adalah ulama besar, yang brjasa dan berperan dlam banyak aspek, seperti
tafsir Al-Qur’an, ilmu Tauhid, hukum islam, filsafat, pendidikan, peradaban,
Kemasyarakatan, dan lain-lain.
Dia adalah seorang pembaru
(Mujaddid) yang berpengaruh luas, termasuk di Indonesia. Pembaruanya dilakukan
secara bertahap dan pelahan-lahan melalui jalur pendidikan, khususny melakukan
pembaharuan pendidikan di Universitas Al-Azhar. Menurut pendapatnya, dengan
pembaharuan pendidikan di Al-Azhar yang memiliki pelajar Mahasiswa dari
seantero negri-negri muslim, maka alumninya bakal menjadi duta pembaruan
pendidikan di negrinya masing-masing bila mereka pulang ke tanah airnya.
Di samping itu, yang jelas dia
adalah pembela islam yang gigih, seorang wartawan yang tajam penanya, tokoh
politik yang ulung dan akhirnya menjabat Maufti, suatu jabatan yang tinggi di
mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar